♡ ྀི ingin punya hati seluas langit, supaya bisa terima semua bentuk awan.

5.3.24

Writing Challenge Day 24; A Lesson I've Learned

homi, jogja, 2024

hai, embun disini. dalam perjalananku menuju dewasa, aku seolah tak pernah jauh dari lara. tanpa pernah diminta, kami jadi sering bersama. sebuah kebersamaan yang bagiku, melelahkan. beberapa luka juga tergores secara tiba-tiba, bahkan di hari yang ku kira akan penuh bahagia. namun, dalam perjalanan menuju dewasa pula aku didekatkan pada rasa terima. rasa yang menata hatiku pada kerelaan, mengarahkan pandangku pada kelegaan, dan menempatkan pikirku pada keteduhan. tahun-tahun belakangan dan sampai sekarang, menerima adalah hal indah yang ku pelajari. 


aku menerima jika ada hari dimana hatiku penuh biru, padahal awan tidak abu-abu. hari yang terasa berat sebelah, sebab bahu kiriku banyak lukanya. suara-suara terdengar sumbang, beberapa seperti teriakan kencang. aku dimarahi habis-habisan oleh kenyataan, padahal aku tak punya daya untuk balas naik pitam. namun, aku menerimanya. aku belajar menerimanya. aku memahami hatiku yang penuh biru, ku hiasi ia dengan pita-pita lucu. meskipun hiasan itu jatuh dan berulang begitu. riuh gemuruh yang ada di hatiku, berada di luar tanganku. serupa jeda untuknya menyapa kecewa.


aku menerima jika ada nyata yang tak sesuai pinta. biarpun aku butuh beberapa waktu. sebab saat nyata tiba, hatiku termangu cedera. tanganku mendadak kaku, tak bisa terbuka suguhkan rela. pikiranku menyangkal yang telah ketara, menolaknya masuk ke sela-sela kepala. namun, aku menerimanya. aku belajar menerimanya. aku memahami hanya pinta yang mampu ku genggam, hanya pinta yang bisa ku uraikan. lebih dari itu semua, yang punya semesta yang lebih paham. nyata-nyata indah itu datang, lebih memesona daripada pintaku pudarkan muram.


aku menerima jika ada yang hilang. manik mataku buram menatap ruang yang terluang. napasku masih beraturan, tapi kata-kata terujar gelagapan. lidahku terpaku kelu, tak ada mau melarang pilu. dengan atau tanpa lambaian tangan, hilang tetap sisakan cela yang meradang. namun, aku menerimanya. aku belajar menerimanya. aku memahami bahwa hilang punya sisi terang. barangkali aku dijauhkan dari getir tak berkesudahan. atau malah hilang yang ditepikan dari hatiku yang kesesakan. sudah habis masanya, sudah saatnya hilang tiba.


tahun-tahun belakangan dan sampai sekarang, aku masih belajar tentang penerimaan. detik-detik yang ku lewati selalu menjadi detik pertama, jadi tak apa jika aku keliru. kukumpulkan segala luput itu, kusimpan sebagai memori pilu. agar dapat ku timang, agar tak terulang.



-salam sejuk dari tetesan embun pagi


Read More

1.3.24

Writing Challenge Day 23; Surat, Kepada Seseorang

homi, jogja, 2024

hai, embun membawa surat yang belum tahu kapan tibanya, sebab tidak tahu kemana mengirimkannya.


a letter to someone, anyone.


beberapa tahun belakangan ini, semesta rasanya jahat sekali. tidak peduli seberapa basah bantalmu karena tangisan tadi malam, pagi ini kamu harus bangun lagi. menyingkirkan segala risau yang ternyata tidak hilang bersama bunga dari tidur selama dua jam. tak ada lelap akhir-akhir ini, tapi lirihmu 'setidaknya tak ada mimpi buruk yang menghampiri'. dirimu itu, meski penuh keluhnya, masih ada syukur di sela-selanya. besar harapku, semoga kamu tahu tentang itu. semoga kamu mengerti bahwa masih ada putih dari gelapnya pikiran kacaumu. semoga kamu menerima bahwa rasa pahit dari kopi kesukaanmu itu tak melarangmu untuk menyantap sepotong kue manis. pahit-pahitnya, seharusnya sampai disana saja.

beberapa bulan terakhir ini, banyak yang kehilangan kabarmu, termasuk aku. tidak ada tanda-tanda kehidupan di sosial mediamu, walaupun hal itu tidak seharusnya dijadikan tolok ukur. ada yang datang kepadaku, menanyakan kondisimu. baik-baik sajakah kamu, sehatkah kamu, dan dimanakah tinggalmu. aku kosong, tidak punya jawaban atas pertanyaan yang memang biasanya hanya aku yang punya. jika mereka bisa bertanya padaku, lantas aku bertanya pada siapa? bahkan deru angin ikut menjaga rahasia. bangunan tua pun tak berdaya angkat suara. rintik hujan juga buru-buru mengusap jalanan, tak tersisa jejak-jejak sepatu hitammu. rasanya seperti semesta mendukung hilangnya kamu.

beberapa kali, aku datang ke kedai kopi favoritmu yang lokasinya di perempatan jalan raya itu. tempat yang kau datangi setidaknya tiga hari sekali untuk menyaksikan lelahnya orang menunggu lampu hijau, katamu dulu. "lalu kenapa tidak setiap hari saja?" pertanyaan yang muncul karena pikirku kamu sangat suka hal itu. "takut baristanya hafal sama wajah ku" kamu tersenyum dengan napas bau kopi. dan benar saja, beberapa kali aku datang, sebanyak itu pula mereka bilang tidak ingat wajahmu. sudah lebih mendetail aku menjelaskan kebiasaanmu, memesan secangkir hot americano dan duduk di kursi ujung menghadap jendela. namun nihil, baristanya tak hafal. bapak parkir juga sama, banyak motor dan wajah yang datang lalu pergi, katanya.

maka, bagaimana kabarmu? bagaimana cuaca di tempatmu? apakah langit masih selalu sejalan dengan suasana hatimu? atau sebaliknya, langit malah memesonamu dengan biru cerah primadonanya? sehingga terangkatlah kedua sudut bibir itu dan menyipit matamu. namun, kalau nyatanya tidak seperti itu, semoga kamu ada temannya. semoga kamu tidak menangis sendirian di sudut ruangan, memukuli kepala yang bisingnya kelewatan. semoga kamu tidak menyangkal lara yang payah untuk dituturkan. semoga kamu tidak melupakan makan dan mengganti energimu dengan kesakitan. semoga cahaya datang dan memelukmu yang sesenggukan.


senangkah sedih, lapanglah hatimu. sukakah duka, luaslah jiwamu. dalamlah syukurmu, baiklah jalan itu.


semesta, tolong jagakan dia. 

terbangkan segala resah yang membetah di dadanya. pulihkan semua luka yang tak pernah sudah dirasakannya. 

hadirkan cinta dalam setiap tawanya. datangkan syukur di setiap sela napasnya. 

rangkullah sepinya, hidupkan lagi seluruh mimpinya. 

izinkan dia memeluk bahagia. bantu dia untuk kembali temukan dan raih cita. 

tolong jagakan dia, semesta. sebab aku sudah tak bisa.



- salam sejuk dari tetesan embun pagi


Read More
Diberdayakan oleh Blogger.

© Embun Pagi, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena