![]() |
jogja, 2024 |
hari ini rasanya biru sekali. pagi tadi rintik hujan yang turun gerombolan, membuat suara bising dari atap rumah. dinginnya cuaca membatalkan niatku untuk segera keluar dari selimut, duduk, lalu menuliskan beberapa paragraf, setidaknya. aku semakin merapatkan pelukan pada bantal guling di sebelah kananku dan memastikan keberadaan yang satunya di sebelah kiriku. padahal aku baru saja tidur, tapi rasanya lelah sekali. energiku seperti dibabat habis, bahkan untuk mengambil minum di meja belajar saja rasanya payah. menenggelamkan pipi kanan di bantal berhasil menyamankan tubuhku barang sebentar. isi kepala ku sudah tak karuan, berantakan. aku bingung harus diapakan.
pagi tadi biru sekali, ternyata birunya sampai malam ini. pernah sesekali aku lelah memahami diri sendiri. aku payah menapaki jalan sepi. aku letih mengubur emosi yang tak putih. aku penat menelan pedih-pedih yang tak pernah ku ingini. perasaan kecewa yang bermuara pada perasaan menyalahkan diri sendiri. sudah ku usahakan hal-hal yang bahkan sukar sekali, tapi lebih sukar lagi aku mendapatkan hal seringan daun mati. sudah ku upayakan mimik bahagia terpancar dari wajah penjaga hati, tapi tak terjaga hati yang ku langitkan berkali-kali.
-salam sejuk dari tetesan embun pagi
Katanya, Hitler meninggal di Bandung, lho, makanya berapi². Kalau tulisan mu, sepertinya sih memang lahir di Jogja, soalnya indah!
BalasHapusuntuk aku, manusia yang masih butuh banyak belajar tentang menulis, apresiasi sederhana ini adalah hal yang lebih dari sederhana. siapapun kamu, tolong terima kasih(ku) ya!
HapusAku bisa jadi siapa saja selain kritikus sastra😀. Oh ya, kasih(nya) sudah kuterima bersama rintik hujan Jogja.
BalasHapus