♡ ྀི ingin punya hati seluas langit, supaya bisa terima semua bentuk awan.

19.9.15

Tak Seburuk yang Kukira

Matahari benar-benar ganas siang itu. Kulit ku seolah dibakar oleh sinarnya yang begitu terik. Dahi berkerut dengan mata menyipit. Ditambah lagi dengan tugas tambahan dari Pak Genta karena aku lupa membawa buku PR Fisika. Saat ini tak ada alasan untuk mengembangkan senyuman. Sengaja ku keluarkan salah satu buku dari dalam tas untuk melindungi penglihatan. Tentu saja aku memilih buku yang paling besar. Hal ini banyak dilakukan oleh siswi lain, meletakkan buku diatas kepala sembari memegangnya. Matahari terlalu menyilaukan untuk melangkah. Dan lagi dengan polusi kendaraan bermotor. Semua ini membuatku ingin cepat-cepat sampai kerumah lalu minum es buah buatan mama, seperti janjinya tadi pagi.

Saat sampai di persimpangan jalan, aku melihat pangkalan ojek. Rumah sudah dekat, tak perlu untuk memakai jasa para tukang ojek. Hanya menyeberang saja kemudian masuk gang. Beberapa Polisi terlihat berkeliaran di jalan raya, sepertinya melakukan razia. Banyak pengguna kendaraan bermotor kena tilang. Tidak memakai helm, tidak memiliki SIM, hanya memiliki satu kaca spion, dan sebagainya. Mereka hanya mengeluarkan dompet dan memberi selembar uang kertas berwarna biru, lalu masalah selesai. Polisi kok gitu? Bisikku.
“Sepele.” Ketusku.
“Jangan ditiru.” Seseorang tiba-tiba berdiri di sebelahku. Pandangannya tetap ke depan. Apa dia bicara denganku? Lalu laki-laki paruh baya berbadan tegap itu menyeberang.

Motor dan mobil tidak akan berhenti. Jika aku tidak memberanikan diri untuk menyebrang secepatnya, aku tidak akan sampai ke rumah. Jarak kedua mobil dari arah yang berbeda lumayan jauh. Ini saatnya. Aku melangkah cepat ke seberang. Lalu masuk gang sempit. Terdapat banyak tulisan di  kedua dinding rumah bagian samping. Setiap hari aku lewat jalan ini, aku hafal apa saja yang ditulis bocah-bocah nakal.

“Assalamu’alaikum..”
Aku mengetuk pintu rumah sembari melepas kaus kaki dan sepatu. Pintu terbuka. Mama berdiri dibelakang pintu menggunakan celemek kusam. Rambut yang dijepit tinggi serta spatula ditangannnya tak mengurangi cantiknya wajah Mama. Wanita ini tersenyum padaku.
“Waalaikumussalam, sayang.” Jawab Mama lembut.
“Es buah nya udah jadi kan, Ma?” Langsung saja aku mengungkapkan pertanyaan yang dari tadi berputar di otakku. Cuaca benar-benar panas. Minum es campur buatan mama siang bolong begini pasti akan mengembalikan semangat.
“Waduh! Mama lupa! Ini aja masaknya belum beres, maaf ya Dek..” Ucap Mama menepuk keningnya.

Bibirku maju. Apa yang ada dibayanganku jadi musnah. Aku membuang napas sembarangan. Masuk ke rumah dengan menenteng sepatu ditangan kiri. Meletakkannya di rak sepatu lalu masuk ke kamar. Menyalakan AC dan merebahkan tubuh dikasur empuk. Hari yang benar-benar melelahkan.
Bunyi pintu kamar yang terbuka pelan berhasil membangunkanku dari mimpi yang tidak begitu indah. Tak seindah jika minum es buah buatan Mama. Aku tidak bisa berheti memikirkannya. Tidur selama 10 menit pun masih gagal.

“Dek, sekarang ganti baju, Sholat, terus makan. Habis itu beli buahnya ke pasar, Mama buatin es buah yang paling spesial buat si bungsu yang paling cantik ini.” Mama duduk di ujung ranjang. Rambut hitamnya kini digerai. Mama tampak lebih cantik. Semangatku kembali lagi. Aku melakukan semua perintah Mama. Tentu saja dengan membayangkan es buah yang spesial itu.
Aku sudah siap. Dengan jeans pendek dibawah lutut, kaos oblong warna biru laut dan rambut yang dikuncir seperti ekor kuda. Menuju garasi dan mengeluarkan motor scoopy biru ku. Aku harus cepat.
“Helm nya jangan lupa, Dek!!” Teriak Mama dari ruang tamu.
“Uangnya ada banyak nih Ma, ntar kalo di tilang kasih 50.000 aja yaa.” Ucapku lalu menancap gas.

Matahari sudah sedikit menunduk. Cuaca tak sepanas saat aku pulang sekolah tadi. Jalanan pun sudah sedikit lengang. Jam pulang kantor sekitar dua jam lagi. Saat di persimpangan jalan, aku melihat polisi yang masih melakukan razia. Sepertinya pelanggar lalu lintas tak ada habisnya.

PRITTT...PRITTT..PRITTT..

Peluit polisi menghentikan motorku. Aku lupa kalau aku juga melanggar lalu lintas. Aku menghentikan motorku tepat didepan Pak Polisi yang memintaku untuk berhenti.
“Selamat siang, Dik.” Sapanya. Aku membalasnya.
“Helmnya kenapa tidak dipakai? Sudah punya SIM, Dik?” Tanya Pak Polisi. Aku mengambil sesuatu di saku celana. Selembar uang kertas berwarna biru.
“Nih Pak. Sekarang aku bebas, kan?” Tanyaku nyengir. Pak Polisi malah tersenyum. Lalu aku diajaknya ke kantor polisi. Aku menurut saja, karena dia bilang hanya dimintai keterangan. Setelah itu aku bisa langsung ke pasar untuk membeli buah seperti pesan Mama.

Kantor Polisi ramai. Banyak penjahat yang tertangkap ya? Gumamku. Aku mengikuti langkah pak polisi yang membawaku kesini. Pak polisi ini masih muda, berbeda dengan polisi lain yang sudah banyak kerutan diwajahnya. Aku diantar ke salah satu meja polisi yang sedang bertugas.
“Selamat siang, Dik.” Sapa Pak Polisi dengan tangan yang mempersilahkan untuk duduk.
“Siang, Pak.” Aku sedikit menarik kursi, lalu duduk.
“Adik masih sekolah? Kelas berapa?”
“Kelas 9, Pak..”
“Adik tau kenapa adik dibawa kesini?”
“Mau dimintai keterangan kan, Pak?”
“Benar sekali. Adik tau kesalahan apa yang sudah adik lakukan?”
“Tidak memakai helm dan belum punya SIM. Tapi Pak, tadi siang waktu saya dijalan pulang kerumah, saya melihat ada orang kena tilang. Dia hanya memberikan uang 50.000 pada polisi lalu dia dibebaskan.” Aku mengatakan apa yang kulihat.
Tunggu dulu. Aku seperti pernah melihat Pak polisi yang ada didepanku ini. Wajahnya sudah tak asing lagi. Benar. Aku pernah melihatnya.
“Bapak yang tadi di simpang jalan itu, kan?” Polisi itu mengangguk tersenyum.
“Polisi yang adik lihat tadi itu sudah saya tegur. Sekarang, silahkan hubungi orang tuamu minta mereka untuk datang kesini.”

Aku mengangguk lalu melakukan apa yang diminta oleh Pak Polisi. Sepuluh menit kemudian Mama datang. Aku langsung memberi tahu Mama apa yang terjadi. Mama duduk di kursi yang ku tempati tadi. Pak Polisi menyapa Mama, dan Mama membalas sapaannya.
“Begini Bu. Kami dari pihak kepolisian melakukan razia. Dan anak Ibu salah satu dari sekian banyak pelanggar lalu lintas yang kami tangkap. Anak ibu tidak memakai helm dan belum memiliki SIM. Terkena pasal 291 ayat 1 karena tidak memakai helm dan pasal 281 karena belum memiliki SIM. Dikenakan denda sebesar Rp1.250.000,00. Tapi adik jangan berpikir bahwa uang ini akan masuk kantong Pak Polisi. Uang denda ini masuk ke kas negara.” Jelas Pak Polisi.

Mama langsung melihat ke arahku. Aku menunduk. Jika saja aku tadi menuruti perintah mama, aku pasti tidak akan kena pasal. Masalah belum memiliki SIM, itu juga salahku. Dari awal mama belum mengizinkan aku mengendarai motor. Mama langsung membayar uang denda itu.
“Terimakasih Bu, Dik. Jangan lupa untuk mematuhi peraturan lalu lintas ya.” Pak Polisi mengingatkan ku. Lagi-lagi dia tersenyum. Aku dan Mama berjalan keluar kantor namun sebelumnya berjabat tangan.
“Uang jajan di potong 1 bulan ya. Sekarang kita beli es buah dan ini jajan terakhir kamu sampai bulan depan.” Ucap Mama sambil berjalan menuju parkiran.

Aku terkejut. Mau apa lagi? Ini semua salahku. Dalam satu bulan kedepan tidak akan ada beli komik, jajan ke kantin, jalan ke mall dan hal lain yang menyenangkan. Akan kucoba untuk melupakan hal ini sejenak. Sekarang waktunya untuk minum es buah. Walaupun bukan buatan Mama, namun masalah rasa tak kalah enaknya dari buatan Mama.

Jam menunjukkan pukul 15.00. Jalanan masih lengang seperti tadi. Aku pulang kerumah bersama Mama. Naik motor mio warna merah milik mama. Motorku akan dijemput Papa sepulangnya dari kantor. Papa terkejut mendengar kejadian ini. Aku menatap lurus kedepan. Merasakan terpaan angin. Kejadian ini mengajarkanku untuk taat peraturan. Masalah tilang itu tak seburuk yang ku kira.

- Amanda Saliza
Salam sejuk dari tetesan embun pagi.

0 comments:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

© Embun Pagi, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena