Aku masih ingat malam itu. Di penghujung tahun, dimana bulan kian menyabit. Percayalah, sangat indah saat itu. Kilauan bintang selalu setia, bertaburan di sekitarnya. Memberi ketenangan sendiri bagiku, penikmat sabit.
Awal tahun, purnama tampak mempesona. Bulat utuh menampakkan sinar lembutnya dari atas sana. Lagi-lagi bintang setia menemani. Berkilau dengan sinar cantiknya.
Aku berjalan gontai di kaki lima jalan raya. Malam gelap, dengan lampu kendaraan yang lalu lalang tampak mempesona. Sedikit menyenandungkan lagu Soledad milik Westlife yang baru kudengar sekitar 30 menit yang lalu. Tiba-tiba saja ada seberkas sinar menyilaukan mata (seseorang tersenyum lalu menyapa. Berkata tanpa henti. Bercerita tak karuan arah. Tertawa sampai mengeluarkan air mata), spontan aku menutup mata dengan tangan dan menghentikan langkah, Perlahan ku coba melihat dari balik tangan, cahaya itu meredup, tak silau lagi (dia berbalik badan, punggungnya kian menjauh).
Kalau begini kenyataannya, aku tak mau sabit ataupun purnama. Jika purnama ia akan menyabit, jika sabit ia akan purnama lalu menyabit lagi. Sungguh aku tak suka dengan perubahan bentuk Dewi malam itu.
Sabit indah, sangat indah. Layaknya lengkungan itu, dan selanjutnya hilang
Purnama pun tak kalah indah. Namun ia akan menyabit, pergi dengan lengkungan tipis.
Karena kau layaknya sabit, yang menjadi purnama, lalu kian menyabit, hilang menyipit, dan tak akan hadir lagi.
Salam sejuk dari tetesan embun pagi.
- Amanda Saliza
Awal tahun, purnama tampak mempesona. Bulat utuh menampakkan sinar lembutnya dari atas sana. Lagi-lagi bintang setia menemani. Berkilau dengan sinar cantiknya.
Aku berjalan gontai di kaki lima jalan raya. Malam gelap, dengan lampu kendaraan yang lalu lalang tampak mempesona. Sedikit menyenandungkan lagu Soledad milik Westlife yang baru kudengar sekitar 30 menit yang lalu. Tiba-tiba saja ada seberkas sinar menyilaukan mata (seseorang tersenyum lalu menyapa. Berkata tanpa henti. Bercerita tak karuan arah. Tertawa sampai mengeluarkan air mata), spontan aku menutup mata dengan tangan dan menghentikan langkah, Perlahan ku coba melihat dari balik tangan, cahaya itu meredup, tak silau lagi (dia berbalik badan, punggungnya kian menjauh).
Kalau begini kenyataannya, aku tak mau sabit ataupun purnama. Jika purnama ia akan menyabit, jika sabit ia akan purnama lalu menyabit lagi. Sungguh aku tak suka dengan perubahan bentuk Dewi malam itu.
Sabit indah, sangat indah. Layaknya lengkungan itu, dan selanjutnya hilang
Purnama pun tak kalah indah. Namun ia akan menyabit, pergi dengan lengkungan tipis.
Karena kau layaknya sabit, yang menjadi purnama, lalu kian menyabit, hilang menyipit, dan tak akan hadir lagi.
Salam sejuk dari tetesan embun pagi.
- Amanda Saliza
0 comments:
Posting Komentar