Lelaki itu terus menatap cermin dalam-dalam. Menemukan sosok
setan dalam dirinya. Rambut yang panjangnya 3 cm sudah berantakan tak karuan.
Wajah kusamnya dibasahi keringat dan air mata penyesalan. Tangan kanan yang
dikepal telah berdarah. Menyalahkan cermin yang tak bersalah, tak tau apa-apa.
Sekali lagi dihantamnya cermin malang itu. Suara cermin
pecah tak berhasil membuat tetangga datang untuk melihat, meskipun bukan itu
tujuannya. Lelaki ini sendirian di rumah, entah kemana perginya para penghuni
rumah.
“Aku sudah pernah
berjanji. Tak akan pernah membiarkanmu pergi, apalagi mengusirmu. Namun
kenyataannya kau yang meninggalkanku. Kau tau? Aku sakit.”
Kalimat yang terlontar lembut itu terus saja menggema
ditelinganya. Menghantui setiap kegiatan yang ingin dilakukannya. Merasuki
pikiran yang kosong melompong. Menyayat hati yang telah rapuh. Membunuh seorang
lelaki yang selama ini merasa hidup.
Diambilnya salah satu pecahan cermin yang bentuknya tak
beraturan. Gemetar diiringi tetesan keringat. Mencari-cari nadi yang sudah tak
terasa. Digesekkannya perlahan di pergelangan tangan sebelah kiri. Mati dalam
penyesalan.
“Maafkan orang yang
tak berguna ini. Sesosok lelaki namun bukan lelaki. Seorang penghianat
sepertiku ini, memang tak ada balasan yang setimpal kecuali mati dalam
penyesalan tanpa ada yang menangisi. Tenanglah di surga sana, bidadari. Kita
berada di tempat yang berbeda. Dengan tak bersama, aku harap kau bisa bahagia.”
- Amanda Saliza
Salam sejuk dari tetesan embun pagi