♡ ྀི ingin punya hati seluas langit, supaya bisa terima semua bentuk awan.

20.11.16

Lagi-lagi Cermin hft

Lelaki itu terus menatap cermin dalam-dalam. Menemukan sosok setan dalam dirinya. Rambut yang panjangnya 3 cm sudah berantakan tak karuan. Wajah kusamnya dibasahi keringat dan air mata penyesalan. Tangan kanan yang dikepal telah berdarah. Menyalahkan cermin yang tak bersalah, tak tau apa-apa.

Sekali lagi dihantamnya cermin malang itu. Suara cermin pecah tak berhasil membuat tetangga datang untuk melihat, meskipun bukan itu tujuannya. Lelaki ini sendirian di rumah, entah kemana perginya para penghuni rumah.

“Aku sudah pernah berjanji. Tak akan pernah membiarkanmu pergi, apalagi mengusirmu. Namun kenyataannya kau yang meninggalkanku. Kau tau? Aku sakit.”

Kalimat yang terlontar lembut itu terus saja menggema ditelinganya. Menghantui setiap kegiatan yang ingin dilakukannya. Merasuki pikiran yang kosong melompong. Menyayat hati yang telah rapuh. Membunuh seorang lelaki yang selama ini merasa hidup.

Diambilnya salah satu pecahan cermin yang bentuknya tak beraturan. Gemetar diiringi tetesan keringat. Mencari-cari nadi yang sudah tak terasa. Digesekkannya perlahan di pergelangan tangan sebelah kiri. Mati dalam penyesalan.


“Maafkan orang yang tak berguna ini. Sesosok lelaki namun bukan lelaki. Seorang penghianat sepertiku ini, memang tak ada balasan yang setimpal kecuali mati dalam penyesalan tanpa ada yang menangisi. Tenanglah di surga sana, bidadari. Kita berada di tempat yang berbeda. Dengan tak bersama, aku harap kau bisa bahagia.


- Amanda Saliza
Salam sejuk dari tetesan embun pagi
Read More

5.11.16

Kian Menyabit

Aku masih ingat malam itu. Di penghujung tahun, dimana bulan kian menyabit. Percayalah, sangat indah saat itu. Kilauan bintang selalu setia, bertaburan di sekitarnya. Memberi ketenangan sendiri bagiku, penikmat sabit.

Awal tahun, purnama tampak mempesona. Bulat utuh menampakkan sinar lembutnya dari atas sana. Lagi-lagi bintang setia menemani. Berkilau dengan sinar cantiknya.

Aku berjalan gontai di kaki lima jalan raya. Malam gelap, dengan lampu kendaraan yang lalu lalang tampak mempesona. Sedikit menyenandungkan lagu Soledad milik Westlife yang baru kudengar sekitar 30 menit yang lalu. Tiba-tiba saja ada seberkas sinar menyilaukan mata (seseorang tersenyum lalu menyapa. Berkata tanpa henti. Bercerita tak karuan arah. Tertawa sampai mengeluarkan air mata), spontan aku menutup mata dengan tangan dan menghentikan langkah, Perlahan ku coba melihat dari balik tangan, cahaya itu meredup, tak silau lagi (dia berbalik badan, punggungnya kian menjauh).

Kalau begini kenyataannya, aku tak mau sabit ataupun purnama. Jika purnama ia akan menyabit, jika sabit ia akan purnama lalu menyabit lagi. Sungguh aku tak suka dengan perubahan bentuk Dewi malam itu.

Sabit indah, sangat indah. Layaknya lengkungan itu, dan selanjutnya hilang
Purnama pun tak kalah indah. Namun ia akan menyabit, pergi dengan lengkungan tipis.

Karena kau layaknya sabit, yang menjadi purnama, lalu kian menyabit, hilang menyipit, dan tak akan hadir lagi.


Salam sejuk dari tetesan embun pagi.
- Amanda Saliza
Read More
Diberdayakan oleh Blogger.

© Embun Pagi, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena