Sore itu tiba-tiba saja angin mengamuk membuat daun kering berterbangan tak karuan arah. Awan yang menghitam menghidupkan lagi keping keping kenangan silam. Disusul petir yang menyambar tiang listrik membuatku semakin takut saja. Aku berlarih tegopoh-gopoh mencari tempat untuk berlindung, ataupun orang yang mau melindungi.
Ku temukan sebuah pohon tua, batangnya yang besar rasanya cukup untukku bersandar, daunnya yang lebat setidaknya mampu menghalau petir dari atas sana. Perlahan tapi pasti, setetes demi setetes, rintik hujan mulai jatuh. Lalu sedetik kemudian, hujan bergerombol berjatuhan. Menjatuhkan tubuhku semakin dalam ke lubang gelap, tak berudara.
Aku memutar mutar bola mata. Kanan, hitam. Kiri, gelap. Depan, kelam. Belakang, suram. Sumpah demi apapun, aku takut. Dimana ini? Bagaimana bisa aku berada ditempat serba hitam? Tak ada hal yang bisa ku tatap. Tak ada kata yang dapat ku ucap. Walau tak bisa kulihat, aku yakin aku pucat.
Aw.
Aku merasakan sakit di perut bagian kanan. Sakit sebenar-benar rasa sakit. Disini gelap, aku tak bisa melihat siapa yang telah menyayat merah jambu-ku ini. Aku juga tak bisa melihat kemana pelakunya pergi. Sayatan yang hanya sekali, berhasil membuatnya hancur. Menjadi puing-puing yang sukar dikenali -lagi. Aku serius, sakit sekali.
Disini, di tempat serba hitam, aku sendiri. Aku buta. Aku tuli. Aku bisu. Aku lumpuh. Apa yang bisa dilakukan oleh wanita sepertiku disaat seperti ini? Menangis, sayang. Menangis walau tak ada yang akan peduli. Menangis walau tak ada yang akan membelai. Menangis walau tak ada yang akan menenangkan hati.
Namun nyatanya aku salah. Secara perlahan namun pasti, seberkas cahaya mulai tampak. Ternyata aku tak buta. Suara yang menenangkan mulai terdengar. Ternyata aku tak tuli. Namaku dipanggil dan aku berhasil menyaut. Ternyata aku tak bisu. Dia mengulurkan tangan, membawaku pergi dan berlari dari ruang serba hitam. Ternyata aku tak lumpuh.
Aku mengerjapkan mata berkali-kali.
Menyadari.
Ada yang berhasil menyatukan puing-puing hati. Ada senyuman yang hadir untuk menyembuhkan sayatan dari sang pelaku kejahatan.
- Amanda Saliza
Salam sejuk dari tetesan embun pagi
Ku temukan sebuah pohon tua, batangnya yang besar rasanya cukup untukku bersandar, daunnya yang lebat setidaknya mampu menghalau petir dari atas sana. Perlahan tapi pasti, setetes demi setetes, rintik hujan mulai jatuh. Lalu sedetik kemudian, hujan bergerombol berjatuhan. Menjatuhkan tubuhku semakin dalam ke lubang gelap, tak berudara.
Aku memutar mutar bola mata. Kanan, hitam. Kiri, gelap. Depan, kelam. Belakang, suram. Sumpah demi apapun, aku takut. Dimana ini? Bagaimana bisa aku berada ditempat serba hitam? Tak ada hal yang bisa ku tatap. Tak ada kata yang dapat ku ucap. Walau tak bisa kulihat, aku yakin aku pucat.
Aw.
Aku merasakan sakit di perut bagian kanan. Sakit sebenar-benar rasa sakit. Disini gelap, aku tak bisa melihat siapa yang telah menyayat merah jambu-ku ini. Aku juga tak bisa melihat kemana pelakunya pergi. Sayatan yang hanya sekali, berhasil membuatnya hancur. Menjadi puing-puing yang sukar dikenali -lagi. Aku serius, sakit sekali.
Disini, di tempat serba hitam, aku sendiri. Aku buta. Aku tuli. Aku bisu. Aku lumpuh. Apa yang bisa dilakukan oleh wanita sepertiku disaat seperti ini? Menangis, sayang. Menangis walau tak ada yang akan peduli. Menangis walau tak ada yang akan membelai. Menangis walau tak ada yang akan menenangkan hati.
Namun nyatanya aku salah. Secara perlahan namun pasti, seberkas cahaya mulai tampak. Ternyata aku tak buta. Suara yang menenangkan mulai terdengar. Ternyata aku tak tuli. Namaku dipanggil dan aku berhasil menyaut. Ternyata aku tak bisu. Dia mengulurkan tangan, membawaku pergi dan berlari dari ruang serba hitam. Ternyata aku tak lumpuh.
Aku mengerjapkan mata berkali-kali.
Menyadari.
Ada yang berhasil menyatukan puing-puing hati. Ada senyuman yang hadir untuk menyembuhkan sayatan dari sang pelaku kejahatan.
- Amanda Saliza
Salam sejuk dari tetesan embun pagi