♡ ྀི ingin punya hati seluas langit, supaya bisa terima semua bentuk awan.

21.8.16

Namun

Aku sendirian, melewati jalan setapak atau bisa kusebut  jalan kenangan. Kepalaku terus menatap ke aspal jalan. Mencari-cari jejak kakimu yang mungkin saja tertinggal sejak beberapa bulan lalu.
Namun tak ku temui. Semuanya telah hilang ditelan waktu yang dengan ganasnya bergerak.

Aku sendirian, berhenti di tempat ini. Menatap ke arah barat seolah kau akan muncul disana. tersenyum  lalu kehilangan mata. Tatapan kosong sejuta makna. Semuanya telah ku lukis dengan tinta permanen di lembaran merah, walau kenyataannya aku tak pandai melukis, sayang.
Namun tak kunjung kutemui. Seperti menunggu matahari muncul dari sisi barat, betapa jahatnya aku. Kiamat, aku ingin melewatinya bersamamu, atau aku saja yang mati duluan.

Aku sendirian, disini, dibawah gerimisnya nan cantik. Kepalaku kena rintiknya kali ini. Aku sengaja. Biar kau marah, lalu menuruhku untuk pulang. Kau bilang aku tak boleh sakit bukan? Aku cari penyakit disini.
Namun yang kutunggu tak kunjung datang. malah kau menumpahkan hujan deras tepat di atas kepalaku, agar aku sakit, lalu mati. iya kan?

Aku sendirian, menggeser-geser layar smartphone. Melihat sejuata ekspresi wajahmu. tertawa, tersenyum, sedih, tanpa ekspresi, abstrak, dan yang lain lagi.
Namun jariku terhenti pada muka mu yang sedang marah. Ku tatap lekuk wajah itu, ku perhatikan lumat lumat. Bentuk wajah saat kau marah itu, mengerikan.

Aku sendirian, menatap langit yang sepertinya sengaja menjadi cerah. Angin berbisik, "semua telah berubah, kau juga harus berubah, sayang." Aku yakin, itu dari Tuhan.

Aku melangkah, sendirian. Melewati jalan kenangan, tak berhenti di tempat itu, menghindari gerimis manis, memformat isi smartphone. Aku akan melewati jalan berkelok ini, berharap arahku benar. Lalu suatu saat akan kutemukan, hal yang baru.



- Amanda Saliza
Salam sejuk dari tetesan embun pagi

Read More
Diberdayakan oleh Blogger.

© Embun Pagi, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena