Aku ingin punya sebuah kekuatan. Kekuatan untuk memutar
waktu. Aku ingin mengulang semuanya dari awal. Apa yang terjadi di masa lampau.
Apa yang ku perbuat di waktu dulu. Aku ingin mengubah semuanya. Namun semua itu
hanya khayalan. Setelah apa yang ku
alami selama ini, membuat ku sadar. Bahwa tak semua biji elok yang ku tanam
akan berbuah manis. Tak semua hal indah yang ku dapat waktu dulu akan memberi
ku hal indah di hari selanjutnya. Aku ingin berubah.
- Alona, 14 tahun.
Cerita ini ku mulai saat kelas tujuh. Suasana baru yang tak
pernah ku temukan sebelumnya. Hari itu dia menanyakan nomor handphone ku. Ku jawab bahwa aku tak
hapal. Aku menawarkan agar dia yang memberiku nomor handphone-nya duluan. Ditulisnya di secarik kertas nomor yang
berjumlah dua belas digit itu. Ku simpan dalam lembaran kamus. Malam harinya,
aku mencoba untuk mengiriminya sebuah pesan singkat. Tak tau harus mengatakan
apa, ku kirim saja pesan kosong. Tak perlu waktu lama, dia membalasnya dan
menanyakan siapa. Aku menjawabnya. Dari sini aku dan dia mulai dekat. Hari ku
berwarna, dia sang crayon telah
hadir.
Sabtu, 26 Oktober 2013. Sejarah indah dalam hidupku telah
dimulai. Dia menyatakannya. Aku dan dia telah menjadi kita. Dua hari sesudahnya
hubungan kami sempat renggang. Status aku dan dia yang sudah taken tersebar. Umurku masih dua belas
tahun saat itu. Sekedar cinta monyet, tak lebih dari itu. Seiring berjalannya
waktu, aku dan dia mulai terbiasa. Semuanya lebih indah. Hanya setengah tahun
lebih aku bersamanya. Tanggal 8 Mei semuanya usai. Tak ada lagi “kita”. Ulang
tahun ku hanya tinggal beberapa hari lagi. Dia pergi. Peringatan hari lahir ku sepi.
Dunia ku sunyi. 13 tahun ku, Ian pergi.
Di penghujung bulan ke delapan. “Kita” telah tumbuh lagi.
Sekarang aku dan dia sudah kelas delapan. Kami bertemu lagi, satu kelas lagi. Aku
bahagia bisa melihatnya setiap hari lagi. Rasa di hatiku untuknya tak akan
pernah luntur. Namun hubungan kami tak seawet dulu lagi. 11 Oktober 2014, kami
pisah. Semenjak saat itu dia jadi canggung denganku. Adrian-ku, telah pergi
lagi. Aku memulai suatu hubungan dengan teman sekelas. Salah satu cara agar
bisa cepat melupakan Adrian, aku berpacaran dengan Deo. Harapku agar Ian
cemburu. Namun sepertinya tidak. Tepatnya aku tidak tau apa yang ada di otaknya
saat mendengar itu. Tak lama, hubungan ku dengannya selesai.
Hari baru dimulai. Sekarang aku sudah menjadi anak sulung di
SMP. Aku ingin mengubah jalan hidupku. Cukup sudah bermain dengan kesenangan
dunia. Bukankah tak ada kata terlambat untuk berubah? Aku ingin lebih dekat
dengan Pemilik Hati-ku ini. Andai saja waktu itu aku lebih mengenal Tuhan-ku,
maka saat itu aku tidak akan terlalu jatuh.
Aku berjalan gontai menuju kelas baru. Kelas yang dimana aku
tidak bertemu dengan teman dekat ku, Zia. Hanya dua tahun aku bisa mendengar
suaranya setiap hari. Kini aku dan Adrian tak sekelas lagi. Kelasnya yang
berada di seberang, membuatku hanya bisa melihatnya dari jendela kelas ini. Atau
berlama-lama di kantin hanya untuk melihatnya lebih lama lagi. Disini kutemukan
teman baru. Dulu kami pernah sekelas, namun tak begitu akrab seperti sekarang. Iqlima,
yang telah membuatku sadar bahwa terlalu cinta kepada makhluk-Nya itu tidak
baik.
“Lone, buat dirimu untuk lebih dekat pada-Nya. Kita masih
muda. Masih punya impian yang harus diwujudkan. Jika terus berlarut-larut dalam
sesuatu yang tak seharusnya kau masuki, bagaimana dengan mimpimu? Kau
punya mimpi, bukan?” Perkataanya
seolah-olah telah menyentuh hatiku, membuat tekad ku bulat untuk mengejar
surga-Nya. Meski kenyataannya tak semudah itu.
Pada langkah yang pertama, sempat aku tepikir untuk kembali
memperjuangkan cintaku pada Ian. Aku ingin semuanya seperti dulu. Aku dan dia
bersama lagi. Namun Malaikat pendampingku tak mengizinkannya. Seolah-olah Tuhan
mengutus beberapa temanku untuk mendukungku agar berubah. Agar lebih dekat
dengan-Nya. Lagipula jika aku kembali memperjuangkannya, tak akan ada hasil. Biar
saja kusimpan rasa ini di sudut hati.
Aku, Alona. Seorang gadis empat belas tahun. Ku mulai hari ini.
Aku akan berubah. Masih di awal, namun ada saja hal menyakitkan terjadi. Gugun,
seorang lelaki yang memiliki rasa lebih terhadapku. Bahkan perjuangannya lebih
besar dari pada Adrian. Malam itu aku mendapat pesan yang panjang darinya.
“Lone, gue mau cerita, sebenarnya gue ga enak tapi lebih baik gue ceritain. Maaf
nih sebelumnya. Tadi di sekolah, waktu jam istirahat gue mau jalan ke kantin.
Tiba-tiba ada cewek manggil gue. Dia bilang mau bareng sama gue. Kita jalan
berdua ke kantin. Waktu lagi makan, tiba-tiba dia bilang “Gun, kenapa sih lo
suka sama Alona? Dia kan cabe-cabean.”
Gue diem aja dengernya. “Apalagi sekarang, udah sok alim. Pake jilbab panjang
segala. Idihhh, jijik gua liatnya.” Waktu dia bilang gitu, gue langsung marah.”
Setelah membaca pesan darinya, air mataku menetes. Perlahan,
lalu deras bak hujan badai. Perih rasanya. Apa aku salah? Apa aku pernah
mengganggu hidupnya? Kurasa tidak. Berbicara secara langsung dengannya pun
tidak pernah. Hampir saja harimau ku keluar dari kandang. Namun aku ingat akan
Tuhan-ku. Ia tak suka dengan hamba yang seperti itu. Aku tak bisa menyimpan
rasa sakit ini sendiri. Ku bagi cerita ini dengan Ibu. Benar-benar seperti
Malaikat tak bersayap. Dia berhasil membuatku semangat. Aku akan tetap dengan
jalan ini. Tak peduli apa kata mereka. Ini aku, ini jalan hidupku.
Siang itu, kelas ku sedang tak ada guru. Aku duduk didekat
jendela. Menatap keluar, mencari-cari Adrian-ku yang dulu. Namun tak ku
temukan. Kemana dia? Apa dia tak datang ke sekolah? Apa dia sakit? Ku harap tidak.
Kelas yang tadi ribut mendadak hening saat hentakan highheels milik Miss Karin terdengar. Aku termenung, otakku masih
memikirkan kemana dia. Miss Karin masih sibuk menjelaskan apa yang telah ia
tulis di papan tulis sebelumnya. “Alona, are you okay?” Suara lembut itu
berhasil membuyarkan lamunanku. Aku menatapnya bingung, lalu mengangguk gagap.
Miss Karin melanjutkan penjelasannya. Bel berbunyi pertanda jam pelajaran untuk
hari ini selesai. Kelas dibubarkan.
Jam pulang sekolah, jalan raya ramai. Masih saja tak
kutemukan Adrian. Dahiku berkerut dengan mata menyipit. Aku berjalan menyusuri
trotoar.Bis kota nomor 14 datang, aku naik lalu duduk didekat jendela. Harapku agar
bisa melihat Adrian sebelum pulang. Dewi keberuntungan bersamaku, harapanku
nyata. Aku melihat Ian berdiri sendirian di halte, seperti biasanya dia pasti
menunggu Bis kota nomor 6 yang melewati arah rumahnya. Tak biasanya dia
sendirian. Tatapku tak lepas, terus menuju kearahnya sampai akhirnya hilang
ditelan lajunya Bis kota. Namun kali ini berbeda, dia balas menatapku. Kepalanya
bergeser perlahan mengikuti arah Bis kota yang ku naiki. Ku coba tersenyum,
namun kaku. Jantung yang berdetak kencang mengeluarkan nafas terengah dari
saluran pernapasan. Tubuhku gemetar. Tatapan itu, sudah lama sekali aku
merindukannya.Adrian, apa ini?
Aku sampai di rumah. Masuk ke kamar, ku hempaskan tubuh di kasur empuk. Ku tutup mata sejenak, kejadian itu terlintas lagi. Dalam kegelapanpun, aku masih bisa melihatnya, melihat Adrian. Mataku membuka lagi. Menatap langit kamar yang dipenuhi hiasan bintang.
"Ian.. Bagaimana jika kejadian tadi adalah yang terakhir kali? Aku ingin sekali lagi. Lebih lama lagi melihat perut buncit mu, melihat pipi chubby mu, melihat rambut tegakmu, melihat matamu, mendengar suaramu, suara tawamu. Dan yang paling kurindukan, senyuman itu. Senyuman yang bisa mengubah duniaku. Bagaimana jika setelah lulus aku tak bisa melihatmu lagi? Bisakah kau menjawab semua pertanyaanku? Pertanyaan yang selama ini menjadi penghuni di otakku? Andai saja kau tahu apa yang ada di sini, di hati ini. Adrian, aku sangat merindukanmu."
Langit mendung, perlahan rintik hujan turun. Sudah lama aku
merindukannya. Rintik hujan yang selama ini menyamarkan air mata kerinduan. Rindu,
adalah hal yang aku tau itu apa namun tak ada satu katapun yang bisa membantuku
untuk menjelaskannya. Dan pada akhirnya, rindu ini hanya bisa ku penjarakan di
sudut hati.
Hari ini, tepat satu tahun kau pergi. Benar-benar pergi. Meninggalkan jejak kenangan yang tak bisa terlupakan. 11 Oktober 2014 - 11 Oktober 2015.
Based on true story of Nur Azizah.
- Amanda Saliza
Salam sejuk dari tetesan embun pagi.