♡ ྀི ingin punya hati seluas langit, supaya bisa terima semua bentuk awan.

16.10.15

Jangan Berubah.

"Ada apa dengan wajah kusam itu? Dahimu? Kenapa berkerut?" Laki-laki itu menyapaku dengan pertanyaannya. Lalu duduk di kursi yang sama denganku, namun dengan jarak yang cukup jauh. Aku hanya diam. Menatap kosong ke arah kolam air mancur taman sekolah. Seolah-olah memikirkan hal keras. Aku bisa memendamnya sendiri. Dengan teriakan dalam hati lalu disusul dengan jatuhnya bulir bening dari mata, aku kuat. Aku menggeleng pelan, mencoba mengukir senyuman meski kenyataannya pahit.

"Aku bukan orang bodoh. Tatapan kosong itu, tak sekosong kenyataannya. Katakan saja." Dia membenarkan posisi duduknya. Sekarang menghadap ke arahku. Sorot matanya serius. Aku melihat kearahnya, sebentar saja, lalu kembali menatap objek awal.

Tatapan itu, aku tak kuat. Dia orang yang ku kagumi sejak awal, kini  ada di sebelahku. Menanyakan apa yang terjadi. Ada apa ini? Kenapa tiba-tiba dia bersikap seperti ini? Selama ini aku dan dia tak pernah akrab. Aku melihat kearahnya lagi, memastikan bahwa itu dia, orang yang ku kagumi. Keajaiban terjadi? Apa dia peduli denganku?
"Ya, aku peduli denganmu." Ucapnya datar seakan mendengar suara hati.
Kalian tahu bagaimana rasanya dipedulikan dengan orang yang dikagumi selama ini?

Dan semenjak hari itu, aku benar-benar takut akan perubahan. Detak jarum jam di dinding kamar seakan menghantui setiap hembusan napas ini. Terus saja berputar tanpa ku ingini. Andai saja bisa ku hentikan. Aku tak ingin kau berubah. Aku tak ingin kehilangan. Setiap jarum detiknya berputar bisa membuat sifatmu berubah. Aku takut akan hal itu. Tolong tetaplah seperti ini. Jangan berubah. Sepersen pun jangan.
Read More

12.10.15

Selamat pagi, Embun Pagi.

Tak ada yang spesial.  Hanya hari dimana aku lahir ku ingat. Tak begitu bahagia ataupun sebaliknya. Waktu ku di dunia ini jadi lebih singkat. Ucapan memikat dari kalian yang ku Aamiin kan. Banyak harap yang bersarang  di otak. Semoga aku semakin cinta akan Engkau. Harapku agar tak membebani orang-orang di sekitar. Bahagia jika bersamaku. Senang akan hadirku. Aku dibutuhkan banyak orang. Ummi dan Buya bangga telah memilikiku. Dirindukan banyak orang jika aku pergi. Sebentar, lama, ataupun selamanya. Bisa saling mengingatkan dengan kalian.
Baiklah.
Selamat pagi, Tetesan Embun Pagi. Semoga selalu menyejukkan pagi yang pasti. Terus berusaha dan berjuang untuk membasuh jiwa yang letih. Mengisi hati yang tak terisi. Semoga kau, selalu dalam lindungan Illahi. Dicintai Sang pemilik alam dan isinya yang rapi.
Jangan pernah letih, untuk mencintai.

- Amanda Saliza
Salam sejuk dari tetesan embun pagi.
Read More

11.10.15

Sudut Hati

Aku ingin punya sebuah kekuatan. Kekuatan untuk memutar waktu. Aku ingin mengulang semuanya dari awal. Apa yang terjadi di masa lampau. Apa yang ku perbuat di waktu dulu. Aku ingin mengubah semuanya. Namun semua itu hanya khayalan. Setelah apa yang ku alami selama ini, membuat ku sadar. Bahwa tak semua biji elok yang ku tanam akan berbuah manis. Tak semua hal indah yang ku dapat waktu dulu akan memberi ku hal indah di hari selanjutnya. Aku ingin berubah.
- Alona, 14 tahun.

Cerita ini ku mulai saat kelas tujuh. Suasana baru yang tak pernah ku temukan sebelumnya. Hari itu dia menanyakan nomor handphone ku. Ku jawab bahwa aku tak hapal. Aku menawarkan agar dia yang memberiku nomor handphone-nya duluan. Ditulisnya di secarik kertas nomor yang berjumlah dua belas digit itu. Ku simpan dalam lembaran kamus. Malam harinya, aku mencoba untuk mengiriminya sebuah pesan singkat. Tak tau harus mengatakan apa, ku kirim saja pesan kosong. Tak perlu waktu lama, dia membalasnya dan menanyakan siapa. Aku menjawabnya. Dari sini aku dan dia mulai dekat. Hari ku berwarna, dia sang crayon telah hadir.

Sabtu, 26 Oktober 2013. Sejarah indah dalam hidupku telah dimulai. Dia menyatakannya. Aku dan dia telah menjadi kita. Dua hari sesudahnya hubungan kami sempat renggang. Status aku dan dia yang sudah taken tersebar. Umurku masih dua belas tahun saat itu. Sekedar cinta monyet, tak lebih dari itu. Seiring berjalannya waktu, aku dan dia mulai terbiasa. Semuanya lebih indah. Hanya setengah tahun lebih aku bersamanya. Tanggal 8 Mei semuanya usai. Tak ada lagi “kita”. Ulang tahun ku hanya tinggal beberapa hari lagi. Dia pergi. Peringatan hari lahir ku sepi. Dunia ku sunyi. 13 tahun ku, Ian pergi.

Di penghujung bulan ke delapan. “Kita” telah tumbuh lagi. Sekarang aku dan dia sudah kelas delapan. Kami bertemu lagi, satu kelas lagi. Aku bahagia bisa melihatnya setiap hari lagi. Rasa di hatiku untuknya tak akan pernah luntur. Namun hubungan kami tak seawet dulu lagi. 11 Oktober 2014, kami pisah. Semenjak saat itu dia jadi canggung denganku. Adrian-ku, telah pergi lagi. Aku memulai suatu hubungan dengan teman sekelas. Salah satu cara agar bisa cepat melupakan Adrian, aku berpacaran dengan Deo. Harapku agar Ian cemburu. Namun sepertinya tidak. Tepatnya aku tidak tau apa yang ada di otaknya saat mendengar itu. Tak lama, hubungan ku dengannya selesai.

Hari baru dimulai. Sekarang aku sudah menjadi anak sulung di SMP. Aku ingin mengubah jalan hidupku. Cukup sudah bermain dengan kesenangan dunia. Bukankah tak ada kata terlambat untuk berubah? Aku ingin lebih dekat dengan Pemilik Hati-ku ini. Andai saja waktu itu aku lebih mengenal Tuhan-ku, maka saat itu aku tidak akan terlalu jatuh.

Aku berjalan gontai menuju kelas baru. Kelas yang dimana aku tidak bertemu dengan teman dekat ku, Zia. Hanya dua tahun aku bisa mendengar suaranya setiap hari. Kini aku dan Adrian tak sekelas lagi. Kelasnya yang berada di seberang, membuatku hanya bisa melihatnya dari jendela kelas ini. Atau berlama-lama di kantin hanya untuk melihatnya lebih lama lagi. Disini kutemukan teman baru. Dulu kami pernah sekelas, namun tak begitu akrab seperti sekarang. Iqlima, yang telah membuatku sadar bahwa terlalu cinta kepada makhluk-Nya itu tidak baik.

“Lone, buat dirimu untuk lebih dekat pada-Nya. Kita masih muda. Masih punya impian yang harus diwujudkan. Jika terus berlarut-larut dalam sesuatu yang tak seharusnya kau masuki, bagaimana dengan mimpimu? Kau punya  mimpi, bukan?” Perkataanya seolah-olah telah menyentuh hatiku, membuat tekad ku bulat untuk mengejar surga-Nya. Meski kenyataannya tak semudah itu.

Pada langkah yang pertama, sempat aku tepikir untuk kembali memperjuangkan cintaku pada Ian. Aku ingin semuanya seperti dulu. Aku dan dia bersama lagi. Namun Malaikat pendampingku tak mengizinkannya. Seolah-olah Tuhan mengutus beberapa temanku untuk mendukungku agar berubah. Agar lebih dekat dengan-Nya. Lagipula jika aku kembali memperjuangkannya, tak akan ada hasil. Biar saja kusimpan rasa ini di sudut hati.

Aku, Alona. Seorang gadis empat belas tahun. Ku mulai hari ini. Aku akan berubah. Masih di awal, namun ada saja hal menyakitkan terjadi. Gugun, seorang lelaki yang memiliki rasa lebih terhadapku. Bahkan perjuangannya lebih besar dari pada Adrian. Malam itu aku mendapat pesan yang panjang darinya.

“Lone, gue mau cerita, sebenarnya gue ga enak tapi lebih baik gue ceritain. Maaf nih sebelumnya. Tadi di sekolah, waktu jam istirahat gue mau jalan ke kantin. Tiba-tiba ada cewek manggil gue. Dia bilang mau bareng sama gue. Kita jalan berdua ke kantin. Waktu lagi makan, tiba-tiba dia bilang “Gun, kenapa sih lo suka sama Alona? Dia kan cabe-cabean.” Gue diem aja dengernya. “Apalagi sekarang, udah sok alim. Pake jilbab panjang segala. Idihhh, jijik gua liatnya.” Waktu dia bilang gitu, gue langsung marah.”

Setelah membaca pesan darinya, air mataku menetes. Perlahan, lalu deras bak hujan badai. Perih rasanya. Apa aku salah? Apa aku pernah mengganggu hidupnya? Kurasa tidak. Berbicara secara langsung dengannya pun tidak pernah. Hampir saja harimau ku keluar dari kandang. Namun aku ingat akan Tuhan-ku. Ia tak suka dengan hamba yang seperti itu. Aku tak bisa menyimpan rasa sakit ini sendiri. Ku bagi cerita ini dengan Ibu. Benar-benar seperti Malaikat tak bersayap. Dia berhasil membuatku semangat. Aku akan tetap dengan jalan ini. Tak peduli apa kata mereka. Ini aku, ini jalan hidupku.

Siang itu, kelas ku sedang tak ada guru. Aku duduk didekat jendela. Menatap keluar, mencari-cari Adrian-ku yang dulu. Namun tak ku temukan. Kemana dia? Apa dia tak datang ke sekolah? Apa dia sakit? Ku harap tidak. Kelas yang tadi ribut mendadak hening saat hentakan highheels milik Miss Karin terdengar. Aku termenung, otakku masih memikirkan kemana dia. Miss Karin masih sibuk menjelaskan apa yang telah ia tulis di papan tulis sebelumnya. “Alona, are you okay?” Suara lembut itu berhasil membuyarkan lamunanku. Aku menatapnya bingung, lalu mengangguk gagap. Miss Karin melanjutkan penjelasannya. Bel berbunyi pertanda jam pelajaran untuk hari ini selesai. Kelas dibubarkan.

Jam pulang sekolah, jalan raya ramai. Masih saja tak kutemukan Adrian. Dahiku berkerut dengan mata menyipit. Aku berjalan menyusuri trotoar.Bis kota nomor 14 datang, aku naik lalu duduk didekat jendela. Harapku agar bisa melihat Adrian sebelum pulang. Dewi keberuntungan bersamaku, harapanku nyata. Aku melihat Ian berdiri sendirian di halte, seperti biasanya dia pasti menunggu Bis kota nomor 6 yang melewati arah rumahnya. Tak biasanya dia sendirian. Tatapku tak lepas, terus menuju kearahnya sampai akhirnya hilang ditelan lajunya Bis kota. Namun kali ini berbeda, dia balas menatapku. Kepalanya bergeser perlahan mengikuti arah Bis kota yang ku naiki. Ku coba tersenyum, namun kaku. Jantung yang berdetak kencang mengeluarkan nafas terengah dari saluran pernapasan. Tubuhku gemetar. Tatapan itu, sudah lama sekali aku merindukannya.Adrian, apa ini?

Aku sampai di rumah. Masuk ke kamar, ku hempaskan tubuh di kasur empuk. Ku tutup mata sejenak, kejadian itu terlintas lagi. Dalam kegelapanpun, aku masih bisa melihatnya, melihat Adrian. Mataku membuka lagi. Menatap langit kamar yang dipenuhi hiasan bintang.
"Ian.. Bagaimana jika kejadian tadi adalah yang terakhir kali? Aku ingin sekali lagi. Lebih lama lagi melihat perut buncit mu, melihat pipi chubby mu, melihat rambut tegakmu, melihat matamu, mendengar suaramu, suara tawamu. Dan yang paling kurindukan, senyuman itu. Senyuman yang bisa mengubah duniaku. Bagaimana jika setelah lulus aku tak bisa melihatmu lagi? Bisakah kau menjawab semua pertanyaanku? Pertanyaan yang selama ini menjadi penghuni di otakku? Andai saja kau tahu apa yang ada di sini, di hati ini. Adrian, aku sangat merindukanmu."

Langit mendung, perlahan rintik hujan turun. Sudah lama aku merindukannya. Rintik hujan yang selama ini menyamarkan air mata kerinduan. Rindu, adalah hal yang aku tau itu apa namun tak ada satu katapun yang bisa membantuku untuk menjelaskannya. Dan pada akhirnya, rindu ini hanya bisa ku penjarakan di sudut hati.

Hari ini, tepat satu tahun kau pergi. Benar-benar pergi. Meninggalkan jejak kenangan yang tak bisa terlupakan. 11 Oktober 2014 - 11 Oktober 2015.

Based on true story of Nur Azizah.
- Amanda Saliza
Salam sejuk dari tetesan embun pagi.
Read More
Diberdayakan oleh Blogger.

© Embun Pagi, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena