Terdiam, menatap ombak yang berulang kali menabrak tubuh. Suara
hempasnya ombak begitu jelas terdengar. Menatap matahari yang mulai tenggelam,
memberikan warna jingga sebagai pertanda datangnya malam. Pantai yang sepi
membuat mereka serasa memiliki. Waktu berlalu begitu cepat. Beberapa menit yang
lalu matahari masih menampakkan wajahnya, namun detik ini malam telah sampai.
Bulan datang diiringi dengan ribuan bintang.
“Salah satu dari bintang itu, pasti Ibu ku.” Satu suara yang memecahkan keheningan. Laki-laki itu menoleh ke sumber suara.
“Aku ingin menjadi bintang.” Ucapnya lembut, nyaris tak terdengar.
“Kau sudah menjadi bintang, Bintang.” Bintang menatapnya dengan mata seolah-olah bertanya, “Maksudmu?” Sepertinya dia tidak paham.
“Emm, itu.. Nama mu kan Bintang.” Bulan mencoba menjelaskan dengan nada bingung.
“Tidak, maksudku bintang diatas sana. Besok kesini lagi ya” Ucap Bintang dengan nada serius, matanya terus menatap langit malam. Gadis itu membuang napas sembarangan, lalu berdiri dan meninggalkannya sendirian.
“Maghrib oooy!” Teriaknya dari ujung sana. Bintang menoleh sembari menggeleng-gelengkan kepala. Suara yang menggelegar, pikirnya.
“Salah satu dari bintang itu, pasti Ibu ku.” Satu suara yang memecahkan keheningan. Laki-laki itu menoleh ke sumber suara.
“Aku ingin menjadi bintang.” Ucapnya lembut, nyaris tak terdengar.
“Kau sudah menjadi bintang, Bintang.” Bintang menatapnya dengan mata seolah-olah bertanya, “Maksudmu?” Sepertinya dia tidak paham.
“Emm, itu.. Nama mu kan Bintang.” Bulan mencoba menjelaskan dengan nada bingung.
“Tidak, maksudku bintang diatas sana. Besok kesini lagi ya” Ucap Bintang dengan nada serius, matanya terus menatap langit malam. Gadis itu membuang napas sembarangan, lalu berdiri dan meninggalkannya sendirian.
“Maghrib oooy!” Teriaknya dari ujung sana. Bintang menoleh sembari menggeleng-gelengkan kepala. Suara yang menggelegar, pikirnya.
Malam yang tenang, tak seperti biasanya. Bintang terus
menatap keluar jendela kamarnya. Berharap agar Bulan membuka jendela kamarnya
pula, lalu bercerita seperti yang biasa mereka lakukan setiap malam. Namun kali
ini tidak. Bintang melihat kelangit, seakan-akan dia akan berada disana dalam
waktu dekat. Laki-laki berumur 14 tahun ini beranjak dari posisi sebelumnya ke
arah meja belajar. Dia mengambil secarik kertas dan pena. Lalu menulis beberapa
kata diatas kertas itu seperti yang biasa dia lakukan setiap malam sebelum
tidur. “Selesai” gumamnya, lalu menggulung kertas itu dan memasukkan kedalam
toples berbentuk bintang. Toples yang tidak pernah di buka kecuali oleh dia,
Bintang melarang siapapun melakukan hal itu.
Diliriknya jam weker yang menunjukkan pukul 23.48 WIB.
Bintang membaringkan tubuh tipisnya itu diatas kasur dengan sprei berwarna
gelap. Bola matanya berputar melihat dinding kamar yang penuh dengan poster
kartun favoritnya Tom and Jerry. Tak jarang dia di ejek oleh Bulan karena hal
itu. “Udah tua masih aja suka Tom and Jerry.” Perkataan Bulan akan hal itu
tidak akan terlupakan olehnya. Bahkan pernah Bulan berkata akan membelikannya
Kucing seperti Tom yang bisa berdiri dengan dua kaki, tubuh yang bisa kembali
ke bentuk semula walaupun apa yang terjadi. Bintang hanya mengangguk pasrah.
Dia yakin hal itu tidak akan terjadi.
Hari sudah akan berganti. Petir menyambar memberi sekilas
cahaya dikamarnya yang remang. Hujan turun di menit-menit terakhir malam ini.
Bintang memejamkan matanya mencoba untuk tidur. Lagi-lagi matanya terbuka.
Entah apa yang ada dipikirannya. Keluarganya baik-baik saja, tidak ada
pertengkaran seperti bulan lalu. Atau mungkin Bulan? Ah tidak. Sudah biasa
Bulan bersikap seperti ini padaku, gumamnya. Hujan semakin deras saja. Bintang
mencoba menenggelamkan tubuhnya dalam selimut, memejamkan mata, setelah
memastikan dia sudah membaca do’a.
Pukul 04.59 WIB, Bintang terbangun. Adzan Subuh sudah
berkumandang sekitar 10 menit yang lalu. Lalu mengusap wajahnya dengan telapak
tangan, melangkahkan kaki ke kamar mandi. Hanya membutuhkan waktu 3 menit, dia
keluar dari ruangan itu. Dengan wajah yang basah, begitu pula dengan kaki dan
tangannya sampai ke sikut. Rambutnya sedikit basah pun telinganya. Bintang menurunkan
gulungan celana dasarnya sampai seperti semula. Didepannya tedapat cermin yang
cukup besar. Sepertinya dia memikirkan suatu hal. Lelaki itu menuju lemari,
mengambil baju koko lalu memakainya. Kembali lagi berdiri kedepan cermin,
tersenyum lebar. “Siap”. Dia menggelar sajadah, lalu melaksanakan Sholat Subuh
dilanjutkan dengan mengaji seperti biasanya. Hanya saja yang berbeda adalah
pakaiannya.
Pagi yang indah. Matahari menyapa dari timur sana. Hari
minggu telah tiba, entah apa yang harus dirasakan gadis itu. Bahagia karena ini
hari libur, sedih karena besok harus sekolah lagi, tugas lagi, les lagi. Bulan
membuang napas kesembarang arah. Lalu berniat membangunkan Bintang seperti
biasanya. Berteriak dari jendela kamarnya.
“BINTAAAANG!!!” teriaknya menggelegar. Satu kali tak ada
jawaban. Dua kali masih seperti sebelumnya. Tiga kali dan ini akan menjadi yang
terakhir pikir Bulan, jika dia tidak menyaut Bulan berjanji akan mendiamkan
laki-laki itu selama 1 minggu penuh. Namun hasilnya nihil. Kemana Bintang? Tak
seperti biasanya dia tidak balik berteriak. Bulan membuang napas kesal. Lalu
menutup jendela rapat-rapat.
Bulan lagi-lagi melirik jam tangannya. Sudah jam 10 pagi,
kemana lelaki itu? Gadis ini sudah siap untuk janji kemarin, mereka akan menghabiskan
hari libur di pantai seharian. Bulan memutuskan untuk pergi ke rumah Bintang.
Tidak jauh, hanya sekitar 10 langkah dari rumahnya. Sudah 3 hari laki-laki itu
sendirian dirumah. Ayah, Ibu dan Kakak perempuannya pergi keluar kota ada
urusan keluarga. Sedangkan Bintang tidak ikut karena masih sekolah, laki-laki
ini sangat rajin. Bulan membuka pintu rumah Bintang, tidak dikunci. “Ceroboh”
ujarnya pelan. Lalu melangkah ke kemar Bintang. Mengetuk pintu, tak ada
jawaban. Bulan memutuskan untuk membukanya. Ternyata Bintang sedang mengaji,
ujarnya.
Bulan menunggu Bintang mengaji sembari melihat lihat isi
kamar lelaki itu. Matanya tertuju pada sebuah toples berbentuk bintang yang ada
dimeja belajar. Sejak kecil Bulan tidak pernah melihatnya.
“Bintang, ini apa?” tanyanya sembari melihat kearah Bintang yang masih duduk
membungkuk, didepannya terdapat Al-Qur’an. Tak ada jawaban. “Bintang? Kamu
marah?” Bulan melangkahkan kaki kearah Bintang. Tak biasanya dia seperti ini.
Bulan pun baru menyadari dari tadi Bintang tak bersuara. Hanya duduk diam
seperti patung. Gadis itu menepuk pelan bahu Bintang dari belakang. Posisi
Bintang mengaji menghadap kesalah satu sudut kamar. Bulan menepuk bahu
laki-laki itu sekali lagi namun lebih kuat dari sebelumnya.
Apa ini? Bintang ketiduran saat mengaji? Tubuhnya dingin tergeletak
lemas setelah bahuya di tepuk Bulan, wajahnya pucat. Bulan berusaha
membangunkannya. Namun tidak ada hasil. Apakah Bintang tidur senyenyak ini?
Gumamnya kesal. Tangannya tanpa sengaja bergerak kearah hidung Bintang,
terhenti. Tak ada hembusan napas. “ Kalau ingin mengecohku tidak usah menahan napas
Bintang, aku kasihan jika nanti kau akan merasa sesak “ ucap Bulan bergurau.
Dilakukannya sekali lagi hal seperi tadi, hasilnya masih
sama. Bulan memegang pergelangan tangan lelaki itu, dingin tak berdenyut. Apa
ini arti dari perkataan Bintang kemarin? Gadis ini tak pernah menyangka
sedikitpun bahwa kemarin sore itu adalah percakapan terakhirnya dengan Bintang.
Sosok sahabat yang menjengkelkan namun selalu ada untuknya. Sekarang
satu-satunya sahabat terbaiknya telah pergi. Namun Bulan masih saja susah untuk
percaya dengan kenyataan ini.
Wanita paruh baya itu tampak tegar setelah apa yang terjadi
pada anak laki-lakinya. Dia menangis kehilangan. Sorot matanya seakan rela,
percaya bahwa saat ini anaknya hanya satu. Dia tidak bisa lagi membanggakan
kepada orang lain kalau dia memiliki dua anak, sepasang. Wanita itu beranjak
pergi meninggalkan pemakaman.
“Bulan? Ini Kakak ada sesuatu untukmu. Mungkin kamu tidak
akan terlalu terpukul akan kepergian Bintang dengan ini. Didalam toples ini
berisi surat-surat yang selalu Bintang tulis setiap malamnya. Dia selalu
mengatakan “bagaimana jika aku tidur dan tak akan bangun lagi?” semenjak itu
dia mulai menulis surat-surat yang mugkin akan menjadi pesan terakhir. Kamu
buka, lalu cari tanggal yang sesuai dengan hari kemarin. Kakak yakin dia pasti
menulis surat semalam.”
“Makasih, ya Kak.” Ucap Bulan mengambil toples berbentuk
bintang dari tangan Kakak perempuan Bintang. Bulan tersenyum paksa. Matanya
bengkak menangis sekitar 4 jam tanpa
henti. Perempuan yang umurnya sedikit lebih tua darinya itu mninggalkan
pemakaman dengan payung hitam. Saat ini Bulan sendirian, hujan disertai
matahari yang bersinar terik mengguyur tubuhya. Bulan melirik jam tangannya,
pukul 16.04 WIB. Bulan berpamiitan dengan Bintang yang sudah didalam tanah,
lalu beranjak dari tempat ini.
Ombak laut
masih sama seperti kemarin saat kau disini.
Matahari tenggelam masih dengan cara yang sama seperti kemarin saat kau disini.
Angin bertiup masih sama seperti kemarin saat kau disini.
Hanya aku yang berbeda dari hari kemarin.
Sahabatku yang kemarin disini duduk bersamaku, sekarang telah pergi..
Malam telah menyapa. Pantai ini sepi. Hanya ada gadis sebatang
kara. Duduk membiarkan tubuh diterpa ombak dan angin malam yang dingin. Lalu
beranjak kearah tenda dan api unggun yang telah dibangunnya beberapa menit yang
lalu. Bulan mulai membuka toples milik Bintang. Terdapat 124 surat yang
digulung kecil. Sudah sekitar 4 bulan laki-laki itu menulis surat. Dengan mudah
Bulan menemukan surat yang paling baru. Dibukanya gulungan kertas putih itu.
Sudah ke-124 kalinya aku menulis
surat. Entah sampai kapan aku akan menulisnya. Namun saat ini aku merasakan hal
yang berbeda. Terakhir. Sudah ke-124 kali pula aku menuliskan kata “terakhir”
disetiap surat yang ku tulis. Hari ini aku akan menuliskan tentang sahabatku.
Tentang seorang gadis yang selalu ada untukku. Kami bersama sejak umur 2 tahun.
Aku menyayangi bak seorang kakak kepada adiknya. Kami selalu bercita-cita untuk
keluar angkasa. Menapakkan kaki ke Bulan, melihat Bintang secara langsung, dan
menatap Bumi dari kejauhan. Hal itu sangat menarik.
Bulan.. Maaf jika aku tidak bisa bersamamu lagi. Maaf jika aku tidak bisa mewujudkan impian kita untuk keluar angkasa. Jika yag tadi adalah saat-saat terakhir ku bersamamu, aku tidak akan menyesal. Aku bahagia bisa bersamamu, sahabatku. Menyaksikan kembalinya sang raja siang ke singgah sananya. Memandangi indahnya Bulan dan taburan Bintang yang gemerlap. Jika esok aku tidak ada lagi, lihatlah keatas sana. Aku bersinar, menunggu untuk kau sapa.
Bintang, *
Bulan.. Maaf jika aku tidak bisa bersamamu lagi. Maaf jika aku tidak bisa mewujudkan impian kita untuk keluar angkasa. Jika yag tadi adalah saat-saat terakhir ku bersamamu, aku tidak akan menyesal. Aku bahagia bisa bersamamu, sahabatku. Menyaksikan kembalinya sang raja siang ke singgah sananya. Memandangi indahnya Bulan dan taburan Bintang yang gemerlap. Jika esok aku tidak ada lagi, lihatlah keatas sana. Aku bersinar, menunggu untuk kau sapa.
Bintang, *
Bulan menatap langit malam yang gelap. Bintang benar. Diatas sana
ada dua bintang yang sangat bersinar diyakininya adalah Ibu dan Bintang,
sahabatnya. Lagi-lagi air mata itu jatuh. Gadis itu mencoba untuk membuat
lengkungan yang mungkin tak akan semanis saat Bintang bersamanya. Kemarin itu
yang terakhir kalinya.
“Aku disini Bintang. Seperti janji kemarin, kita akan kesini bersama. Kau tak menghianati janji itu. kau diatas sana kan? Sinar terangmu itu berarti senyuman kan?”
Bulan melangkahkan kaki ke tepi pantai. Duduk meringkuk memeluk lutut. Menunduk, berpikir keras. “Duniaku harus terus berjalan. Aku harus mewujudkan mimpiku. Mimpiku bersamanya.” Bulan membatin. Menatap langit sekali lagi. Tersenyum lebar, lebih ikhlas dari sebelumnya.
“Kau memang bintang yang bersinar terang, Bintang”
-Amanda Saliza
Salam sejuk dari tetesan embun pagi.
Salam sejuk dari tetesan embun pagi.