♡ ྀི ingin punya hati seluas langit, supaya bisa terima semua bentuk awan.

30.7.15

Sinar Pemicu

Terdiam, menatap ombak yang berulang kali menabrak tubuh. Suara hempasnya ombak begitu jelas terdengar. Menatap matahari yang mulai tenggelam, memberikan warna jingga sebagai pertanda datangnya malam. Pantai yang sepi membuat mereka serasa memiliki. Waktu berlalu begitu cepat. Beberapa menit yang lalu matahari masih menampakkan wajahnya, namun detik ini malam telah sampai. Bulan datang diiringi dengan ribuan bintang.
“Salah satu dari bintang itu, pasti Ibu ku.” Satu suara yang memecahkan keheningan. Laki-laki itu menoleh ke sumber suara.
“Aku ingin menjadi bintang.” Ucapnya lembut, nyaris tak terdengar.
“Kau sudah menjadi bintang, Bintang.” Bintang menatapnya dengan mata seolah-olah bertanya, “Maksudmu?” Sepertinya dia tidak paham.
“Emm, itu.. Nama mu kan Bintang.” Bulan mencoba menjelaskan dengan nada bingung.
“Tidak, maksudku bintang diatas sana. Besok kesini lagi ya” Ucap Bintang dengan nada serius, matanya terus menatap langit malam. Gadis itu membuang napas sembarangan, lalu berdiri dan meninggalkannya sendirian.
“Maghrib oooy!” Teriaknya dari ujung sana. Bintang menoleh sembari menggeleng-gelengkan kepala. Suara yang menggelegar, pikirnya.

Malam yang tenang, tak seperti biasanya. Bintang terus menatap keluar jendela kamarnya. Berharap agar Bulan membuka jendela kamarnya pula, lalu bercerita seperti yang biasa mereka lakukan setiap malam. Namun kali ini tidak. Bintang melihat kelangit, seakan-akan dia akan berada disana dalam waktu dekat. Laki-laki berumur 14 tahun ini beranjak dari posisi sebelumnya ke arah meja belajar. Dia mengambil secarik kertas dan pena. Lalu menulis beberapa kata diatas kertas itu seperti yang biasa dia lakukan setiap malam sebelum tidur. “Selesai” gumamnya, lalu menggulung kertas itu dan memasukkan kedalam toples berbentuk bintang. Toples yang tidak pernah di buka kecuali oleh dia, Bintang melarang siapapun melakukan hal itu.

Diliriknya jam weker yang menunjukkan pukul 23.48 WIB. Bintang membaringkan tubuh tipisnya itu diatas kasur dengan sprei berwarna gelap. Bola matanya berputar melihat dinding kamar yang penuh dengan poster kartun favoritnya Tom and Jerry. Tak jarang dia di ejek oleh Bulan karena hal itu. “Udah tua masih aja suka Tom and Jerry.” Perkataan Bulan akan hal itu tidak akan terlupakan olehnya. Bahkan pernah Bulan berkata akan membelikannya Kucing seperti Tom yang bisa berdiri dengan dua kaki, tubuh yang bisa kembali ke bentuk semula walaupun apa yang terjadi. Bintang hanya mengangguk pasrah. Dia yakin hal itu tidak akan terjadi.

Hari sudah akan berganti. Petir menyambar memberi sekilas cahaya dikamarnya yang remang. Hujan turun di menit-menit terakhir malam ini. Bintang memejamkan matanya mencoba untuk tidur. Lagi-lagi matanya terbuka. Entah apa yang ada dipikirannya. Keluarganya baik-baik saja, tidak ada pertengkaran seperti bulan lalu. Atau mungkin Bulan? Ah tidak. Sudah biasa Bulan bersikap seperti ini padaku, gumamnya. Hujan semakin deras saja. Bintang mencoba menenggelamkan tubuhnya dalam selimut, memejamkan mata, setelah memastikan dia sudah membaca do’a.

Pukul 04.59 WIB, Bintang terbangun. Adzan Subuh sudah berkumandang sekitar 10 menit yang lalu. Lalu mengusap wajahnya dengan telapak tangan, melangkahkan kaki ke kamar mandi. Hanya membutuhkan waktu 3 menit, dia keluar dari ruangan itu. Dengan wajah yang basah, begitu pula dengan kaki dan tangannya sampai ke sikut. Rambutnya sedikit basah pun telinganya. Bintang menurunkan gulungan celana dasarnya sampai seperti semula. Didepannya tedapat cermin yang cukup besar. Sepertinya dia memikirkan suatu hal. Lelaki itu menuju lemari, mengambil baju koko lalu memakainya. Kembali lagi berdiri kedepan cermin, tersenyum lebar. “Siap”. Dia menggelar sajadah, lalu melaksanakan Sholat Subuh dilanjutkan dengan mengaji seperti biasanya. Hanya saja yang berbeda adalah pakaiannya.

Pagi yang indah. Matahari menyapa dari timur sana. Hari minggu telah tiba, entah apa yang harus dirasakan gadis itu. Bahagia karena ini hari libur, sedih karena besok harus sekolah lagi, tugas lagi, les lagi. Bulan membuang napas kesembarang arah. Lalu berniat membangunkan Bintang seperti biasanya. Berteriak dari jendela kamarnya.

“BINTAAAANG!!!” teriaknya menggelegar. Satu kali tak ada jawaban. Dua kali masih seperti sebelumnya. Tiga kali dan ini akan menjadi yang terakhir pikir Bulan, jika dia tidak menyaut Bulan berjanji akan mendiamkan laki-laki itu selama 1 minggu penuh. Namun hasilnya nihil. Kemana Bintang? Tak seperti biasanya dia tidak balik berteriak. Bulan membuang napas kesal. Lalu menutup jendela rapat-rapat.

Bulan lagi-lagi melirik jam tangannya. Sudah jam 10 pagi, kemana lelaki itu? Gadis ini sudah siap untuk janji kemarin, mereka akan menghabiskan hari libur di pantai seharian. Bulan memutuskan untuk pergi ke rumah Bintang. Tidak jauh, hanya sekitar 10 langkah dari rumahnya. Sudah 3 hari laki-laki itu sendirian dirumah. Ayah, Ibu dan Kakak perempuannya pergi keluar kota ada urusan keluarga. Sedangkan Bintang tidak ikut karena masih sekolah, laki-laki ini sangat rajin. Bulan membuka pintu rumah Bintang, tidak dikunci. “Ceroboh” ujarnya pelan. Lalu melangkah ke kemar Bintang. Mengetuk pintu, tak ada jawaban. Bulan memutuskan untuk membukanya. Ternyata Bintang sedang mengaji, ujarnya.

Bulan menunggu Bintang mengaji sembari melihat lihat isi kamar lelaki itu. Matanya tertuju pada sebuah toples berbentuk bintang yang ada dimeja belajar. Sejak kecil Bulan tidak pernah melihatnya. 
“Bintang, ini apa?” tanyanya sembari melihat kearah Bintang yang masih duduk membungkuk, didepannya terdapat Al-Qur’an. Tak ada jawaban. “Bintang? Kamu marah?” Bulan melangkahkan kaki kearah Bintang. Tak biasanya dia seperti ini. Bulan pun baru menyadari dari tadi Bintang tak bersuara. Hanya duduk diam seperti patung. Gadis itu menepuk pelan bahu Bintang dari belakang. Posisi Bintang mengaji menghadap kesalah satu sudut kamar. Bulan menepuk bahu laki-laki itu sekali lagi namun lebih kuat dari sebelumnya.

Apa ini? Bintang ketiduran saat mengaji? Tubuhnya dingin tergeletak lemas setelah bahuya di tepuk Bulan, wajahnya pucat. Bulan berusaha membangunkannya. Namun tidak ada hasil. Apakah Bintang tidur senyenyak ini? Gumamnya kesal. Tangannya tanpa sengaja bergerak kearah hidung Bintang, terhenti. Tak ada hembusan napas. “ Kalau ingin mengecohku tidak usah menahan napas Bintang, aku kasihan jika nanti kau akan merasa sesak “ ucap Bulan bergurau.

Dilakukannya sekali lagi hal seperi tadi, hasilnya masih sama. Bulan memegang pergelangan tangan lelaki itu, dingin tak berdenyut. Apa ini arti dari perkataan Bintang kemarin? Gadis ini tak pernah menyangka sedikitpun bahwa kemarin sore itu adalah percakapan terakhirnya dengan Bintang. Sosok sahabat yang menjengkelkan namun selalu ada untuknya. Sekarang satu-satunya sahabat terbaiknya telah pergi. Namun Bulan masih saja susah untuk percaya dengan kenyataan ini.

Wanita paruh baya itu tampak tegar setelah apa yang terjadi pada anak laki-lakinya. Dia menangis kehilangan. Sorot matanya seakan rela, percaya bahwa saat ini anaknya hanya satu. Dia tidak bisa lagi membanggakan kepada orang lain kalau dia memiliki dua anak, sepasang. Wanita itu beranjak pergi meninggalkan pemakaman.

“Bulan? Ini Kakak ada sesuatu untukmu. Mungkin kamu tidak akan terlalu terpukul akan kepergian Bintang dengan ini. Didalam toples ini berisi surat-surat yang selalu Bintang tulis setiap malamnya. Dia selalu mengatakan “bagaimana jika aku tidur dan tak akan bangun lagi?” semenjak itu dia mulai menulis surat-surat yang mugkin akan menjadi pesan terakhir. Kamu buka, lalu cari tanggal yang sesuai dengan hari kemarin. Kakak yakin dia pasti menulis surat semalam.”
“Makasih, ya Kak.” Ucap Bulan mengambil toples berbentuk bintang dari tangan Kakak perempuan Bintang. Bulan tersenyum paksa. Matanya bengkak menangis sekitar 4  jam tanpa henti. Perempuan yang umurnya sedikit lebih tua darinya itu mninggalkan pemakaman dengan payung hitam. Saat ini Bulan sendirian, hujan disertai matahari yang bersinar terik mengguyur tubuhya. Bulan melirik jam tangannya, pukul 16.04 WIB. Bulan berpamiitan dengan Bintang yang sudah didalam tanah, lalu beranjak dari tempat ini.

Ombak laut masih sama seperti kemarin saat kau disini.
Matahari tenggelam masih dengan cara yang sama seperti kemarin saat kau disini. Angin bertiup masih sama seperti kemarin saat kau disini. Hanya aku yang berbeda dari hari kemarin. Sahabatku yang kemarin disini duduk bersamaku, sekarang telah pergi..


Malam telah menyapa. Pantai ini sepi. Hanya ada gadis sebatang kara. Duduk membiarkan tubuh diterpa ombak dan angin malam yang dingin. Lalu beranjak kearah tenda dan api unggun yang telah dibangunnya beberapa menit yang lalu. Bulan mulai membuka toples milik Bintang. Terdapat 124 surat yang digulung kecil. Sudah sekitar 4 bulan laki-laki itu menulis surat. Dengan mudah Bulan menemukan surat yang paling baru. Dibukanya gulungan kertas putih itu.

Sudah ke-124 kalinya aku menulis surat. Entah sampai kapan aku akan menulisnya. Namun saat ini aku merasakan hal yang berbeda. Terakhir. Sudah ke-124 kali pula aku menuliskan kata “terakhir” disetiap surat yang ku tulis. Hari ini aku akan menuliskan tentang sahabatku. Tentang seorang gadis yang selalu ada untukku. Kami bersama sejak umur 2 tahun. Aku menyayangi bak seorang kakak kepada adiknya. Kami selalu bercita-cita untuk keluar angkasa. Menapakkan kaki ke Bulan, melihat Bintang secara langsung, dan menatap Bumi dari kejauhan. Hal itu sangat menarik.
Bulan.. Maaf jika aku tidak bisa bersamamu lagi. Maaf jika aku tidak bisa mewujudkan impian kita untuk keluar angkasa. Jika yag tadi adalah saat-saat terakhir ku bersamamu, aku tidak akan menyesal. Aku bahagia bisa bersamamu, sahabatku. Menyaksikan kembalinya sang raja siang ke singgah sananya. Memandangi indahnya Bulan dan taburan Bintang yang gemerlap. Jika esok aku tidak ada lagi, lihatlah keatas sana. Aku bersinar, menunggu untuk kau sapa.
Bintang, *

Bulan menatap langit malam yang gelap. Bintang benar. Diatas sana ada dua bintang yang sangat bersinar diyakininya adalah Ibu dan Bintang, sahabatnya. Lagi-lagi air mata itu jatuh. Gadis itu mencoba untuk membuat lengkungan yang mungkin tak akan semanis saat Bintang bersamanya. Kemarin itu yang terakhir kalinya.

“Aku disini Bintang. Seperti janji kemarin, kita akan kesini bersama. Kau tak menghianati janji itu. kau diatas sana kan? Sinar terangmu itu berarti senyuman kan?”
Bulan melangkahkan kaki ke tepi pantai. Duduk meringkuk memeluk lutut. Menunduk, berpikir keras. “Duniaku harus terus berjalan. Aku harus mewujudkan mimpiku. Mimpiku bersamanya.” Bulan membatin. Menatap langit sekali lagi. Tersenyum lebar, lebih ikhlas dari sebelumnya.
“Kau memang bintang yang bersinar terang, Bintang”


-Amanda Saliza
Salam sejuk dari tetesan embun pagi.
Read More
Diberdayakan oleh Blogger.

© Embun Pagi, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena