♡ ྀི ingin punya hati seluas langit, supaya bisa terima semua bentuk awan.

21.12.14

Seperti Air

Aku terus menahan dan bertahan. Menahan perasaanku agar tidak melampaui batas dan bertahan untuk tetap pada perasaan ini. Mungkin remaja seumurku ini belum waktunya untuk tau apa itu cinta. Namun salahkah jika aku punya cinta? Mengagumi dari jauh, seperti tulus.

Siang ditemani dengan teriknya matahari, panasnya bisa menembus kulit setiap orang. Aku berjalan gontai sendirian diatas trotoar berlubang, ditengah jalan terlihat kerumunan orang. Ya, kecelakaan. Dari jauh gadis itu seperti memakai seragam sama denganku. Aku mendekat, dan ternyata Neisya. Hidungnya mengeluarkan cairan berupa darah kental. Matanya luka, terkena pecahan kaca mobil.

Aku selalu terpana jika melihat seseorang memakai jas putih, tangan sebelah kanan dimasukkan kedalam jas, stetoskop tersangkut di lehernya. Terbayang jika aku di posisinya. Dokter keluar dari ruang UGD. Seperti dokter yang lain, yang dicari duluan adalah keluarga pasien. Pria  yang duduk disampingku langsung berdiri menanyakan keadaan Neisya. Sangat perhatian. Lelaki yang memakai jas putih itu mengajak Zalvin menuju ruangannya.

Kau seperti air, tak bisa ku genggam. Selalu mengalir menyejukkan dunia, terutama hatiku. Aku seperti payung, yang hanya kau gunakan saat hujan. Hujan deras yang diberinya. Namun sekarang pelangi, mungkin selamanya kau akan diberi pelangi.

Malam itu hujan datang gerombolan ke bumi, seperti bantalku yang sudah dibasahi oleh gerombolan air mata. Sakit rasanya melihat personal message milik Zalvin “Be mine” di sambung dengan personal message milik Neisya “I’m yours”. Tak habis pikir dengan ke GR-an ku selama ini tentang Zalvin yang suka tersenyum jika melihatku.  Bodoh.
“PING!!!
 Aku tau kau sedang menangisi personal message milik Zalvin dan Neisya, ya kan?”
Entah dari mana Kevin tau semuanya. Dia pernah menaruh hati denganku, tapi dulu semenjak kelas 3 SMP. Mungkin sekarang tidak. Pesan dari Kevin hanya ku baca, kutinggalkan tidur. Aku ingin melepas kepenatan.

Pagi yang sejuk kudapatkan setelah hujan tadi malam. Embun jatuh ke daun hijau. Tak semua mata bisa menyaksikannya. Tak bisa dilupakan, ingin rasanya amnesia agar tidak ingat siapa kau. Bodoh, menganggap ada cinta saat senyum terlukis.
Terlintas dipikiranku “apakah aku datang terlalu pagi?” koridor sekolah sangat sepi. Jam tangan ku menunjukkan pukul 06.57 WIB.
“Ini tidak terlalu pagi, mungkin mereka sudah berada dikelas. Menerima pelajaran yang diberikan Guru.” Aku menoleh ke kanan, ternyata Kevin. Apa dia bisa membaca pikiran? Kenapa dia bisa menjawab semua pertanyaan yang tak terucap di bibirku? Dia memberi senyum simpul, lalu aku berlari ke kelas.

Aku tidak suka keramaian, itulah alasannya kenapa aku betah memandang sungai yang ada di belakang sekolah ini. Aku tau tempat ini dari Zalvin, dia yang pertama kali mengajakku kesini, berdua. Tapi untuk membicarakan orang ketiga.
“Hai Syif” aku menoleh,
“Hai Vin”
“Kau tidak takut sendirian disini?”
“Tidak, mungkin kau yang takut berdua dengan ku disini tanpa Neisya”. Zalvin terdiam, apa ada  yang salah dengan perkataanku tadi?
“Terpaksa dengan Neisya” suaranya lembut, dia berbalik lalu pergi dari tempat ini. Apa maksudnya?

Aku berjalan mengikutinya dari belakang, sejak perkataanku di tepi sungai waktu itu sikapnya menjadi dingin. Bukan hanya denganku, tetapi dengan semua orang termasuk Neisya. Aku takut terjadi sesuatu dengannya, meski bukan milikku. Sesaat klakson mobil truk itu berteriak.
“Zalvin awaaaaaaaasss!!!!” teriak ku tak kalah kuatnya dengan klakson mobil tadi. Aku berlari, dan brukkk kami  terhempas di trotoar jalan.

“Bagaimana keadaannya dok?” ucap seorang laki-laki, kepalanya di perban. Aku mendengarnya, namun pura-pura tidak mendengar.
“Kakinya patah, harus segera di amputasi”
Mataku langsung terbuka. Aku tak percaya, namun ini kenyataannya. Tak bisa lagi berlari mengejarnya, tak bisa lagi berdiri disampingnya.
“Syifa..” lirih Zalvin, matanya berkaca-kaca. Aku tak mengerti, seharusnya dia biasa saja, seharusnya dia tidak menjatuhkan air matanya. Ini aku Syifa, bukan Neisya.
“Saya bersedia dok untuk itu semua” Mulutku mengeluarkan kata-kata itu secara refleks.
Zalvin pergi meninggalkan ruangan.
“Dok, boleh saya minta tolong? Kali ini saja” Dokter memberiku selembar kertas dan pena.
Operasi dilakukan. Di sisi lain Zalvin menerima pesan dari seseorang, wajahnya berseri. Lalu beranjak dari tempat duduk di ruang tunggu.

Zalvin mendorong kursi roda milik Neisya di taman rumah sakit, mereka tertawa bersama. Tak tau apa yang dirasakan orang lain.
“Syukur ya, kau bisa melihat dunia lagi” ucapnya sambil mendorong kursi roda. Neisya tersenyum mendengarnya, setelah sekian lama dia hidup dalam kegelapan terbaring lemah tak berdaya dirumah sakit.
“Andai aja aku tau siapa yang sudah memberikan aku matanya, hatinya sekarang juga di tubuhku. Semoga aku bisa baik hati seperti dia” suaranya lembut, senyum manis terlukis di bibirnya. Ini seperti mimpi, namun sebaliknya. Lelaki disampingnya tiba-tiba menghentikan kursi roda, matanya berkaca-kaca setelah melihat layar telepon genggam miliknya. Semua ini realita.


 “Aku sudah memikirkan semuanya, aku tau ini akan terjadi. Kanker ku sudah stadium akhir, aku berpikir untuk memberikan semua milikku untuk orang yang kau sayangi. Neisya memerlukan mata dan hati untuk melihat dan mencintaimu lebih dalam lagi. Jangan sampai ada rasa penyesalan saat kau membaca ini. Jangan sampai ada air mata yang jatuh. Aku memang hanya kau datangi saat kau butuh, namun aku bahagia, aku ikhlas. Pernah aku merindukan saat kita masih akrab dulu, walau hanya sebatas teman. Kau tak pernah tau aku mencintaimu sejak lama, dan sekarang kau tau. Terimakasih telah mendatangiku saat kau butuh sesuatu. Aku tetap mencitaimu dengan sepenuh hati ditubuh Neisya, aku akan melihatmu setiap hari dengan mataku yang ada pada Neisya juga. Aku mencitaimu dalam diam. Satu pintaku, jangan beri tau Neisya semua ini”
Hujan turun bersama matahari yang bersinar terik. Zalvin terus saja memeluk erat sebuah batu nisan. Air matanya tumpah. Dia menyesal telah meninggalkan Syifa sendirian berjuang untuk operasi yang berjalan lancar. Namun siapa saja tidak bisa menentang kehendak yang Maha Kuasa, kankernya terlalu kuat, Syifa sudah kalah.

“Selamat jalan Syifa. Tuhan telah memanggilmu untuk kembali kepangkuannya. Cukup sudah derita yang kuberi kepadamu selama di dunia. Aku seperti yang kau rasakan, mencintaimu juga. Kusadari aku hanya medatangimu saat aku butuh, itu karena aku tak punya alasan untuk mendatangimu setiap saat meskipun aku ingin sekali. Kepergianmu mengajariku agar mencintai Neisya lebih dalam lagi, kuharap bisa. Aku akan melihat matamu setiap hari, aku juga akan merasakan cintamu setiap saat. Dengan begini, rasa kehilanganku tak akan terlalu besar. Aku kehilangan ragamu, namun tidak dengan cinta dan tatapan indah.”
Diusapnya sekali lagi batu nisan itu. Kehilangan payung membuatnya tak bisa berteduh saat kehujanan, tak bisa berlindung saat kepanasan.  

- Amanda Saliza
Salam sejuk dari tetesan embun pagi.
Read More
Diberdayakan oleh Blogger.

© Embun Pagi, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena