Masih dalam keadaan musim gugur. Layaknya perasaanku saat
ini, perlahan rasa sakit itu mulai hilang. Aku duduk di antara pepohonan,
melihat indahnya daun yang jatuh terpisah dengan rantingnya. Tak pernah aku
berpikir akan jauh dari Ayah dan Ibu, namun ini kenyataannya. Hal seperti ini
tidak membuatku bahagia, namun aku merasa lebih tenang. Terlepas dari semua
masalah yang mencekam.
-FLASHBACK ON-
“Untuk apa kau masih disini? Sesuatu yang sangat tidak
diharapkan! Dulu, kau begitu indah layaknya bunga Mawar, tapi sekarang? Kau
lebih busuk dari bunga Bangkai!”
Sesaat hatiku hancur. Kepingannya berserakan, sampai-sampai
tidak bisa disatukan lagi. Begitu tajam ucapan seseorang yang sangat kusayangi,
sosok sahabat yang selama ini ada untukku. Sekejap ia berubah, ketika mendengar
tentang ku dari bibir orang lain. Mulutku kaku, lidahku juga ikut kelu. Aku
hanya menggigit bibirku, menahan agar air mata ini tidak jatuh didepannya.
“Tuhan memberimu mulut untuk berbicara yang benar, sekalipun
kau kecewa, cukup hati dan Tuhanmu saja yang tau.”
Lelaki itu lalu menarik tanganku dan membawaku pergi. Sebelum berbalik badan, aku sempat meneteskan air mata didepan Lifia. Namun cepat-cepat aku menyekanya.
Lelaki itu lalu menarik tanganku dan membawaku pergi. Sebelum berbalik badan, aku sempat meneteskan air mata didepan Lifia. Namun cepat-cepat aku menyekanya.
“Terimakasih, kau su..”
“Kau hati-hati saja dengan nenek lampir yg menjelma jadi gadis cantik itu”
Aku sedikit tertawa. Ketika ingin melanjutkan ucapanku tadi, dia pergi. Aneh.
“Kau hati-hati saja dengan nenek lampir yg menjelma jadi gadis cantik itu”
Aku sedikit tertawa. Ketika ingin melanjutkan ucapanku tadi, dia pergi. Aneh.
Suara bantingan pintu, disusul dengan kerasnya tangan yang
menempel diwajah ibuku, membuatku bertanya-tanya. Apakah benar tempat dimana
aku sedang berdiri ini adalah rumah?
Rumahku Istanaku.
Sekarang peribahasa itu sudah tidak berlaku lagi. Hanya rumah yang menyerupai istana, namun tidak dengan suasananya.
Rumahku Istanaku.
Sekarang peribahasa itu sudah tidak berlaku lagi. Hanya rumah yang menyerupai istana, namun tidak dengan suasananya.
Aku berbalik badan, pergi dari tempat ini. Hanya satu yang
ingin kutemukan sekarang, ketenangan.
“Namun saat ini keadaannya berbeda. Ketika aku dipanggil
dengan sebutan yang tidak pantas, rasa sakit itu tumbuh. Apakah benar, jika
sudah seperti ini tandanya rasa sayang untuk sahabat sudah hilang?” –POSTED
“Salahkah aku? Jika sedikit menuangkan rasa sakit ke sosial
media seperti ini? Terserah apa tanggapan orang lain tentang semua tweet ku
tadi, mungkin Alay dipikiran mereka” Aku berbicara sendiri ditempat ini pun
sendiri.
“Aku tidak tau lagi, apa yang harus kulakukan. Menjelaskan semuanya? Mungkin tidak. Lifia sudah berubah, tidak mungkin dia mau mendengar penjelasanku.” Gumamku.
“Aku tidak tau lagi, apa yang harus kulakukan. Menjelaskan semuanya? Mungkin tidak. Lifia sudah berubah, tidak mungkin dia mau mendengar penjelasanku.” Gumamku.
“Hei sedang apa kau disini? Memikirkan masa depan? Haha”
Gadis tomboy itu datang menghampiriku bersama Lelaki culun yang memakai
kacamata bulat. Katanya ingin seperti Harry Potter, namun apa daya tangan tak
sampai. Mereka sahabatku sejak kecil.
Aku membalasnya dengan senyum simpul. Banyak sekali yang ingin
kuceritakan pada sahabatku ini. Andai saja mereka dapatmembaca pikiranku.
Mungkin aku tak perlu susah payah untuk mengeluarkan kata demi kata dari
bibirku.
Saat itu aku sedang duduk di balkon kamar sambil
mendengarkan musik klasik. Hujan yang jatuh perlahan semakin membuatku larut
dalam nada indah yang yang sedang kudengarkan. Sudah lama aku tak melakukan
kebiasaan ini, situasinya rumit. Balkon kamarku, berhadapan langsung dengan
balkon kamar Lifia. Aku teringat saat malam itu, telunjukku menari bersama
angin menulis namanya dengan menghubungkan satu bintang ke bintang lainnya.
Begitupun sebaliknya.
Tok..Tok..Tok..
Bukan, kali ini bukan suara ketukan pintu kamarku. Namun ketukan pintu rumah, kuat sekali ketukannya. Dibalik pintu itu berdiri seorang lelaki berumur, dengan topi dikepalanya dan baju seragam khusus. Aku tau, orang ini adalah Tukang Pos.
“Selamat siang dik”
“Siang pak”
“Ini ada kiriman surat, tolong tanda tangan disini ya” Ucapnya sambil memberi surat itu dan sebuah buku sebagai bukti tanda terima. Aku tanda tangan seenaknya, tak peduli dengan bentuknya.
“Baiklah terimakasih, selamat siang” Pamit tukang pos itu.
“Siang pak”
“Ini ada kiriman surat, tolong tanda tangan disini ya” Ucapnya sambil memberi surat itu dan sebuah buku sebagai bukti tanda terima. Aku tanda tangan seenaknya, tak peduli dengan bentuknya.
“Baiklah terimakasih, selamat siang” Pamit tukang pos itu.
Surat itu dibungkus dengan amplop berwarna coklat, di
depannya tertulis bahwa surat itu kiriman dari Pengadilan Agama. Perceraian? YA.
Belum sembuh luka yang dibuat Lifia, sekarang mereka. Kedua orang tua ku
sendiri yang menggoresnya lagi.
Tanpa pikir panjang, aku berlari kekamar dan mengambil
secarik kertas beserta penanya. Kutulisnya semua yang kurasakan. Mereka tidak
tau bahwa aku juga memiliki masalah dengan sahabatku. Aku sangat ingin bercerita,
namun tak ada waktu itu semuanya. Kuletakkan surat itu diatas meja. Beserta
surat dariku untuk Ayah dan Ibu. Aku ingin pergi dari semua ini. Bukan maksud
untuk lari dari masalah, aku hanya lelah. Meskipun aku memberi penjelasan pada
Lifia, memohon agar Ayah dan Ibu tidak berpisah, itu semua tidak akan merubah
segalanya. Mereka akan tetap dengan egonya masing-masing.
“Hei! Kau mau kemana?” Sapa seorang lelaki yang tak asing
bagiku.
“Pergi jauh” Jawabku singkat. Dengan pakaian kusut dan rambut yang diikat seperti ekor kuda, aku berjalan. Tak tau kemana tujuan.
“Pergi jauh” Jawabku singkat. Dengan pakaian kusut dan rambut yang diikat seperti ekor kuda, aku berjalan. Tak tau kemana tujuan.
-FLASHBACK OFF-
Sekarang aku ada di Negeri Sakura. Hidup tenang bersama
Bibi, adik dari Ibu. Laptopku berbunyi, ada yang mengirimiku e-mail.
“Hai Aylaa! Apa kabar? Aku sudah tau semuanya dari Sam. Maafkan aku, saat itu setan bertahta dipikiranku Ay.. Sekarang aku menyesal, aku sudah menjatuhkanmu didepan banyak orang. Kau sahabatku, tapi mungkin kau tak menganggapku sebagai sahabatmu lagi. Penyesalan, itu yang aku rasakan saat ini. Aku sudah membuat hatimu hancur. Tak heran jika kau sangat membenci seorang penghianat seperti aku ini. Aku merindukan saat telunjukku menari bersama angin menulis namamu, nama kita. Hanya satu kata penuh makna, MAAF. Jika kau ingin kembali, aku akan ada. Namun jika aku yang kembali? Apakah kau sudi?
Lifia.”
“Hai Aylaa! Apa kabar? Aku sudah tau semuanya dari Sam. Maafkan aku, saat itu setan bertahta dipikiranku Ay.. Sekarang aku menyesal, aku sudah menjatuhkanmu didepan banyak orang. Kau sahabatku, tapi mungkin kau tak menganggapku sebagai sahabatmu lagi. Penyesalan, itu yang aku rasakan saat ini. Aku sudah membuat hatimu hancur. Tak heran jika kau sangat membenci seorang penghianat seperti aku ini. Aku merindukan saat telunjukku menari bersama angin menulis namamu, nama kita. Hanya satu kata penuh makna, MAAF. Jika kau ingin kembali, aku akan ada. Namun jika aku yang kembali? Apakah kau sudi?
Lifia.”
Kau satu-satunya Lifia. Kau akan selalu menjadi yang terbaik
meskipun dengan keegoisanmu itu. Rasa sayang ku ini tak akan menipis, meski
ditelan dengan kepedihan yang kurasakan. Tanpa kau minta, aku sudah memberimu
‘maaf’. Aku akan kembali, bersamamu lagi. Karena aku tau, hanya kau yang bisa
menyatukan kepingan itu kembali.
- Amanda Saliza
Salam sejuk dari tetesan embun pagi.
Salam sejuk dari tetesan embun pagi.